SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pemberian ampunan dan pembebasan masa tahanan kepada seorang terdakwa bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Salah satu contoh paling terkenal adalah amnesti yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada seorang agen intelijen asing dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA), Allen Lawrence Pope, yang terjadi tepat 67 tahun lalu. Keputusan ini mengundang perhatian besar, terutama mengingat latar belakang kasus yang melibatkan keterlibatan asing dalam konflik domestik Indonesia.
Intel AS Tertangkap Basah
Pada Mei 1958, Indonesia diguncang oleh pemberontakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) yang dipimpin oleh Ventje Sumual di Sulawesi. Pemberontakan ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan pusat yang dinilai terlalu sentralistik. Untuk menghadapi situasi tersebut, pemerintah Indonesia meminta bantuan TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk melakukan operasi militer besar yang melibatkan pasukan dari ketiga matra: darat, laut, dan udara.
Namun, pertempuran di lapangan tidak berjalan mudah. TNI sempat kewalahan menghadapi serangan bersenjata. Dalam situasi genting ini, sebuah insiden besar terjadi yang mengungkap keterlibatan asing dalam konflik tersebut.
Pada 18 Mei 1958, pesawat tempur yang diterbangkan oleh agen CIA, Allen Lawrence Pope, dijatuhkan oleh TNI setelah sebelumnya menjatuhkan bom yang menghancurkan pasar dan beberapa bangunan strategis di Ambon. Serangan tersebut mengakibatkan 6 warga sipil dan 17 anggota TNI tewas. Namun, Pope yang merupakan warga negara AS selamat. Ketika digeledah, ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pope adalah agen CIA yang tengah menjalankan misi rahasia. Dalam catatan Audrey Kahin dan George Kahin dalam buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (1997), ditemukan bahwa Pope membawa buku catatan terkait misi-misinya dan kartu anggota tentara AS di sakunya.
Divonis Mati, Tapi Berakhir Dibebaskan
Kabar penangkapan Pope mengguncang Indonesia. Presiden Soekarno yang mengetahui bahwa Pope adalah seorang agen CIA, sangat murka. Dalam autobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), Soekarno menyatakan, “Aku 99,9% yakin bahwa Pope seorang agen CIA. […] Di setiap negara yang baru berkembang orang akan melihat agen-agen Amerika banyak berkeliaran.” Pemerintah Indonesia segera melakukan penyelidikan lebih lanjut dan mengungkap bahwa Pope, yang merupakan veteran, telah menerbangkan pesawat tempur dari pangkalan militer AS di dekat Filipina. Pope bukanlah satu-satunya pilot CIA yang terlibat dalam pemberontakan Permesta, namun dia adalah satu-satunya yang tertangkap oleh militer Indonesia.
Setelah terbongkarnya identitas Pope, pemerintah AS buru-buru membantah keterlibatan mereka. Namun, bukti di lapangan tak bisa disangkal. Pope dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia. Meski demikian, keputusan yang diambil pemerintah Indonesia ternyata berbeda dengan yang diperkirakan banyak orang.
Setelah menjalani masa tahanan selama empat tahun, istri, ibu, dan saudara perempuan Pope datang menemui Soekarno di Jakarta. Mereka menangis tersedu-sedu, memohon agar Soekarno bersedia memberi pengampunan. Soekarno, yang dikenal memiliki hati yang lembut terhadap perempuan, akhirnya luluh. “Bila sudah menyangkut seorang perempuan, hatiku jadi lemah,” kenang Soekarno.
Amnesti Diam-Diam
Pada 1962, Soekarno memutuskan untuk memberi pengampunan kepada Pope. “Atas kemurahan hati Presiden, engkau diberi ampun. Tetapi, ini kulakukan dengan diam-diam,” ujar Soekarno kepada Pope.
Pembebasan Pope dilakukan secara diam-diam, tanpa adanya surat keputusan resmi, meskipun situs Mahkamah Agung Republik Indonesia mengategorikan pembebasan tersebut sebagai amnesti. Namun, ada syarat khusus yang diberikan kepada Pope: ia tidak boleh membuka mulut kepada media atau publik mengenai kejadian tersebut. Pope mematuhi perintah ini dan menjalani kehidupan tersembunyi di sebuah desa kecil di Amerika Serikat sampai akhirnya pemberontakan yang dibantunya dilupakan oleh banyak orang, kecuali oleh pemerintah Indonesia.
Soekarno mengungkapkan bahwa meski Pope dibebaskan, peristiwa tersebut tetap membekas dalam ingatannya. “Dia bersembunyi sampai pemberontakan yang dibantunya itu sudah dilupakan oleh setiap orang, kecuali kami,” kenang Soekarno tujuh tahun setelah peristiwa tersebut.
Keputusan Soekarno untuk memberi ampun kepada Pope, meskipun dilatarbelakangi oleh berbagai pertimbangan politik dan kemanusiaan, tetap menjadi salah satu episode penting dalam sejarah hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat pada masa itu.
(Anton)