SUARAINDONEWS.COM, Depok – Adanya penggunaan barang bukti palsu berupa Kwitansi dalam persidangan Pengadaan PO Minyak Goreng, Erik Yansen Sihotang sebut persidangan cacat hukum.
Diketahui bahwa Erik Yansen Sihotang merupakan salah seorang pengacara muda di Kota Depok.
Dalam persidangan pada hari Selasa (26/7/2022) sidang perkara nomor 105/Pdt.G/2022/PN Dpk di Pengadilan Negeri Depok, penggugat diduga menggunakan Kwitansi Palsu sebagai alat bukti.
“Menurut saya, persidangan kemarin itu penuh tanda tanya. Seharusnya, alat bukti yang diserahkan berbentuk asli semua yakni kwitansi harus asli. Dan menurut saya, ini cacat hukum yang harus dipertanyakan secara tertulis atau secara lisan kepada pihak majelis hakim kenapa perkara ini bisa naik ke P21 sedangkan berkas yang disampaikan tidak asli,” ujar Erik Yansen Sihotang melalui aplikasi WhatsApp kepada Suaraindonews.com, Rabu (27/7/2022).
“Berdasarkan Undang-undang, Flash Disk menjadi salah satu alat bukti untuk membuktikan suatu perkara,” tambah Erik Yansen Sihotang.
Persidangan yang berjalan, menurut Erik Yansen Sihotang adalah terlalu cepat dinaikan kedalam persidangan karena setiap dalam penyelidikan, tergugat boleh memberikan keterangan juga dengan posisi saksi sebelum menjadi tergugat.
“Dari situ harus ada pembuktian dan harus ada pernyataan bersalah. Sedangkan tergugat menyatakan bukan tulisan dia, bukan dia yang buat dan segala macam,” urai Erik Yansen Sihotang.
Berarti secara tidak langsung bisa kita bilang itu masih butuh penyelidikan yang sangat jauh. Jatuhnya adalah harus bisa dibuat forensik yang menyatakan Kwitansi itu benar atau tidak dan tulisan itu benar atau tidak.
“Harus dibuktikan secara forensik atau hasil keterangan dari pihak kepolisian yang menyatakan asli tanda tangan tergugat atau tulisan dari tergugat. Harus dibuktikan secara forensik yang ada di penyidik,” tutur Erik Yansen Sihotang.
Terkait dengan adanya dugaan pengancaman, Erik Yansen Sihotang pun menyarankan tergugat membuat laporan pengancaman yang telah dilakukan oleh pihak penggugat.
Sebelumnya, Nur Fitrianingsih menjadi tergugat satu dari sembilan tergugat dan seorang turut tergugat. Anehnya, gugatan kepada Nur Fitrianingsih menggunakan barang bukti kwitansi palsu.
“Ada barang bukti berupa kwitansi yang disertakan dalam persidangan oleh penggugat, tapi bukan saya yang tulis kwitansi tersebut, bukan tulisan saya, beda banget tulisannya,” ujar Nur Fitrianingsih kepada Suaraindonews.com usai menjalani sidang perkara nomor 105/Pdt.G/2022/PN Dpk di Pengadilan Negeri Depok, Selasa (26/7/2022).
Dirinya menilai ada kejanggalan dalam bukti-bukti yang digunakan oleh penggugat dalam menggugat, misalnya penulisan tanggal dan bahasa yang aneh.
“Ada data yang salah dari penggugat. Misalnya nama orang, penulisan tanggal yang tidak berurutan dan bahasa yang aneh. Saya juga sempat mengalami pengancaman dari pihak penggugat dengan kata-kata saya bisa turunin kopasus kopasus yg lain, klo udah pemerintah yg ikut tangan..teteh ga bkln bisa berkutik, gua ga bakal lepasin lu’,” tuturnya.
Dalam persidangan yang dijalaninya, Ia berharap majelis hakim dapat berlaku adil dengan menerima bukti dari dirinya sebagai pertimbangan keputusan.
“Barang bukti saya ditolak dengan alasan memakai Flash Disk. Sedangkan saya baca di google, sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Flash Disk merupakan dokumen elektronik,” ungkapnya.
Dirinya pun menginginkan pengembalian aset berupa Girik milik keluarga yang saat ini ada ditangan penggugat.
“Yang jelas, pulangkan dulu Girik dengan nama almarhum bapak yang menjadi hak keluarga saya. Gugatlah secara pribadi tanpa menyita aset milik keluarga. Saya akan bertanggung jawab,” tandasnya. (Akhirudin).