SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Intan Jaya, Papua –** Sebuah surat terbuka dari seorang anak di Papua mengguncang jagat media sosial dan menyentak nurani bangsa. Ditulis oleh Antonia Hilaria Wandagau, gadis asal Distrik Sugapa, Intan Jaya, surat ini menyuarakan jeritan hati seorang anak yang menyaksikan ibunya ditembak dan dibakar hidup-hidup, diduga oleh aparat keamanan.
“Pak Presiden, Ibu saya dibakar di halaman rumah. Sampai kapan negara menembaki rakyatnya sendiri?”
– Antonia, dalam surat terbuka bertanggal 26 Mei 2025.
Bukan Kombatan, Hanya Ibu Rumah Tangga
Antonia dengan lirih menggambarkan sosok ibunya, Hetina Mirip, sebagai perempuan biasa yang setia pada “dapur dan doa”. Bukan bagian dari kelompok bersenjata. Bukan ancaman.
“Ibu saya bukan kombatan… tapi pagi kemarin, tentara datang. Rumah kami dikepung. Ibuku ditembak. Dibakar di halaman rumah.”
Dalam surat yang dialamatkan langsung kepada Presiden RI, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Antonia menumpahkan kegelisahan tentang nasionalisme yang justru menindas.
Papua Butuh Guru, Bukan Pasukan Tempur
Surat tersebut juga mengkritik tajam kehadiran aparat bersenjata yang mendominasi ruang hidup warga sipil di Papua, sementara akses dasar seperti pendidikan dan layanan kesehatan terus terpinggirkan.
“Kami butuh guru dan nakes, bukan pasukan tempur. Kami ingin hidup, bukan dibungkam,” tulis Antonia dengan nada getir.
Ia juga mempertanyakan mengapa negara lebih sibuk menjadi juru damai konflik luar negeri seperti Rusia-Ukraina, tapi tak kunjung menghadirkan dialog damai dan perlindungan di tanahnya sendiri.
Viral dan Mengundang Reaksi Publik
Surat Antonia menyebar luas di media sosial, memantik gelombang simpati dan seruan agar negara menghentikan pendekatan militer di Papua.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Istana maupun TNI terkait isi surat tersebut dan kebenaran kronologi peristiwa yang diceritakan.
Penutup yang Menyayat Hati
Di akhir suratnya, Antonia menyampaikan pesan yang seolah menjadi tamparan bagi siapa saja yang masih memiliki hati nurani:
“Jika negara tak sanggup melindungi kami, paling tidak berhentilah menyakiti kami.”
Catatan:
Surat ini bukan hanya suara pribadi. Ini adalah refleksi luka kolektif rakyat Papua yang telah lama mendambakan keadilan, pengakuan, dan perdamaian. Saat suara seorang anak lebih terdengar dari kebijakan negara, mungkin saatnya kita bertanya:
Apa arti Indonesia yang adil bagi semua?
(Anton)