SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengkritik Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dia mengatakan, Peta Jalan Pendidikan Nasional tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.
Dia menemukan hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Menurut hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya, yakni peraturan pemerintah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UUD 1945, dan Pancasila.
Hilangnya frasa ‘agama’, kata dia, sebagai bentuk nilai dari dampak pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di lapangan. Padahal, pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945, poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Sikdisnas yang menjelaskan secara eksplisit agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.
“Mengapa peta jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud berani berbeda dari atau menyalahi Pasal 31 UUD 1945. Kalau orang hukum itu mengatakan ini pelanggaran konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya adalah ‘tidak sejalan’ dengan Pasal 31,” kata Haedar seperti dilansir dari laman muhammadiyah.or.id, Sabtu (5/3/2021).
Hal itu dikatakannya dalam forum FGD Peta Jalan Pendidikan Kemendikbud yang diadakan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), pada Senin (1/3/2021) lalu.
Dia menyebut, pemerintah harus melihat secara konstitusional bukan dari aspek priomordial. Peta Jalan tersebut dirumuskan untuk memudahkan proses mencerdaskan kehidupan bangsa meski masih dalam tahap penyusunan.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan, proses penyusunan sebagai tindakan yang ‘sembunyi-sembunyi’. Ini karena, penyusunannya tidak dilibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud dan partisipasi publik.
Haedar tak menepis ‘kelalaian’ dalam penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional memicu kecurigaan adanya keterkaitan antara keputusan kontroversial Kemendikbud terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang urusan pakaian keagamaan. Dia menilai, keputusan SKB 3 Menteri memiliki masalah yang sama dengan Peta Jalan Nasional, yaitu kontradiktif dan inkosisten.
Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1 dan 2 telah mengatur setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayai. Pada perkembangannya, negara mewujudkan pasal tersebut melalui sistem Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Nah, poin ini yang kami kritik kemarin bahwa sanksi terhadap sekolah yang mewajibkan pakaian khusus keagamaan dicabut BOS-nya dalam SKB 3 Menteri itu bertentangan dengan ayat 2 pasal 31 ini, kenapa dikait-kaitkan dengan pakaian khusus keagamaan,” ucap dia.
Haedar khawatir, pendekatan kekuasaan seperti SKB yang dilakukan tanpa mengindahkan kearifan lokal agama dan budaya tertentu berpotensi merusak Kebhinekaan Indonesia. Sementara itu, jika hanya dilakukan sepihak dan inkonsisten pada satu agama tertentu, akan muncul bermacam kecurigaan.
Dia berharap, ke depannya, pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek pragmatis terkait pasar dan ekonomi dalam perencanaan pendidikan. Namun, harus memperhatikan dimensi idealis, aspek moral, dan aspek fundamental.
“Harus ada konsep-konsep tandingan, harus ada narasi alternatif, ada pikiran tandingan yang lengkap dan itu konstruktif menurut saya. Kita uji nanti kalau ada konsep yang lengkap, tapi hasilnya tetap berarti ada sesuatu yang keliru,” kata dia.(wwa)