SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tengah berupaya melakukan pengaturan lebih dalam terhadap teknologi pada platform perdagangan secara elektronik atau e-commerce, termasuk pengaturan data agar tidak terjadi praktik monopoli yang dilakukan oleh platform global.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Teten terkait penggunaan media sosial yang belakangan dimanfaatkan sebagai platform transaksi perdagangan secara elektronika.
“Kita bukan anti-inovasi. Teknologi dan transformasi digital adalah satu keharusan. Hal ini memberikan disrupsi atau peluang baru bagi pelaku bisnis, namun jangan sampai kemudian malah jadi monopoli. Bila terjadi monopoli, maka habislah semua industri kita termasuk e-commerce dalam negeri,” ungkap Menteri Teten dalam sebuah diskusi di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (24/10/2023).
Menurut Teten, setiap individu yang masuk ke media sosial memiliki tujuan untuk mencari kesenangan sosial dan membagikan hal-hal menyenangkan kepada publik jagat maya. Hal tersebut jelas berbeda dengan tujuan penggunaan platform transaksi jual beli secara daring.
“Terdapat sebanyak 123 juta orang yang masuk ke media sosial sehingga mereka (platform) gampang saja jualan. Karena itu kami melihat ada penggunaan data yang keliru karena tujuan orang masuk ke media sosial berbeda dengan masuk ke e-commerce. Makanya, traffic Unicorn kita jadi kalah semua sejak dirintis belasan tahun lalu. Hanya dalam waktu 2 tahun, market share tinggal 30 persen sampai 50 persen. Apakah mau dibiarkan seperti ini? Kan tidak, nggak boleh,” tegas dia.
Selama ini, Menteri Teten melanjutkan, platform digital lazim digunakan untuk memperluas market share bisnis lewat sistem promosi “bakar uang”. Skema ini, lama-kelamaan hanya akan menjadi kekuatan kapital besar yang bisa memenangkan persaingan, tutur dia.
“Saya tahu Unicorn lokal sudah sangat berat atau berhenti ‘bakar uang’. Lalu tiba-tiba masuk produk murah dari China yang sudah di-dumping, masuk ke sini disubsidi lagi. Jadi, harga baju bisa seribu rupiah, kemudian tas Rp2 ribu, dan kosmetik Rp5 ribu. Siapa yang mau bersaing dengan kondisi seperti itu?” kata Teten.
Lebih lanjut, Teten mengungkapkan bahwa berbagai edukasi, kampanye, atau gerakan untuk mencintai produk dalam negeri yang selama ini digalakkan dapat tetap menjadi kekuatan yang bisa membantu mempertahankan daya saing produk lokal di tengah gempuran produk-produk asing.
“Pemerintah sudah menerapkan kebijakan bahwa sebanyak 40% dari APBN harus dipakai membeli produk lokal yang merupakan afirmasi untuk mendukung industri, produk lokal, dan UMKM dalam negeri. Menumbuhkan ideologi membeli produk dalam negeri menurut saya masih panjang perjuangannya, walau bukan hal yang tidak mungkin,” ungkap dia.
Menteri Teten lantas mengatakan bahwa masyarakat Indonesia bisa mencontoh negara Korea Selatan yang mampu menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap produk-produk sendiri, sehingga di mana pun warga negara itu berada mereka akan tetap membeli karya bangsa sendiri.
“Kita lihat Korea Selatan, masyarakatnya loyal terhadap produk sendiri. Dari pilihan mobil, restoran, dokter gigi, hingga belanja, semua menerapkan nasionalisme, bahkan sekarang sudah berhasil menguasai beberapa industri. Kita belum punya itu. Konsumen kita yang penting belanja kalau ada diskon, beli yang murah, nggak peduli produk mana pun,” katanya seraya tersenyum.
Nasionalisme, Menteri Teten berpendapat, dapat menjadi upaya untuk membangkitkan kemandirian produk-produk perdagangan dalam negeri dengan melibatkan semua pilar bangsa.
“Kalau kata Pak Jokowi, bila kita sudah bisa bikin ayam goreng enak, ngapain kita buka investasi dengan perusahaan ayam goreng dari luar? Negara bisa mengatur itu. Jadi, Ayo kita flexing (pamer) produk lokal,” tutup dia. (ANT/Akhirudin)