SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, demi menekan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan listrik pada tahun 2022, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp502 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi.
Angka ini sudah naik tiga kali lipat dibandingkan rencana awal APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) 2022. Mantan Direktur Bank Dunia itu juga mengingatkan, bahwa anggaran subsidi bisa membengkak apabila harga BBM tidak jadi naik.
“Maka kita perkirakan subsidi itu harus nambah lagi, bahkan bisa mencapai Rp198 triliun, itu di luar Rp502 triliun. Nambah kalau kita tidak menaikkan harga BBM,” kata Sri Mulyani hadapan Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2022).
Menkeu menyampaikan tanggapan atas pandangan, termasuk saran dan masukan yang konstruktif dari seluruh Fraksi DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2021, yang telah disampakan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 5 Juli 2022 yang lalu.
Menurut Sri Mulyani, kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan, maka anggaran Rp502 triliun tersebut tidak akan cukup.
“Nambah lagi bisa mencapai Rp698 triliun. Tapi perhitungan ini hanya untuk subsidi BBM jenis solar dan pertalite saja. Di luar dari perhitungan subsidi untuk LPG dan listrik, karena LPG dan listrik sudah masuk yang kemarin di laporan semester I yang kita sudah naikkan, saya tidak membuat exercise,” ungkap Sri.
Namun, dia menyebutkan, apabila tren volume penggunaan BBM subsidi masih meningkat, tentunya berbagai pertimbangan akan disiapkan.
“Misal, pertama pertimbangan subsidinya ditambah hingga Rp698 triliun, atau kedua volumenya akan dikendalikan melalui pembatasan. Dan pertimbangan ketiga adalah menaikkan harga BBM. Tiga-tiganya sama sekali enggak enak,” tandas Sri Mulyani.
Dia mengatakan, saat ini APBN sudah menanggung beban yang sangat berat karena anggaran subsidi dan kompensasi yang membengkak tiga kali lipat ke Rp502 triliun. Namun ternyata, angka ini masih kurang melihat kondisi saat ini.
“Itu sudah naik 3 kali lipat ternyata masih kurang lagi. Keputusan nantinya yang akan diambil pemerintah masih dibahas lebih dalam, para menteri masih saling berkoordinasi,” pungkas Sri Mulyani.
Dalam rapat paripurna ke-2 masa persidangan I Tahun sidang 2022-2023 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati didampingi Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.
Hampir seluruh fraksi di DPR menyetujui pelaksanaan RAPBN 2023 untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya dan dibahas dengan komisi terkait sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Kendati demikian, sejumlah fraksi banyak memberikan perhatian dan catatan terhadap wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah yang telah beredar luas.
“Pemerintah sangat menghargai dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh Fraksi di DPR RI atas pandangan dan masukan konstruktif yang dilandasi semangat untuk meningkatkan mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang semakin baik, sehingga dapat bermanfaat dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sesuai amanat konstitusi,” kata Menkeu.
Pemerintah menyampaikan tanggapan tersebut atas paparan yang disampaikan oleh seluruh fraksi melalui juru bicaranya, terkait perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro sepanjang tahun 2022.
Pemerintah memberikan apresiasi yang tinggi atas pandangan seluruh Anggota Dewan yang sangat konstruktif terkait asumsi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2021. Pencapaian inflasi 2021, sebesar 1,87 persen (yoy) meningkat dari angka 2020 yang tercatat sebesar 1,68 persen (yoy).
Masih rendahnya inflasi di bawah rentang sasaran tersebut disebabkan oleh lemahnya daya beli dan tingkat permintaan masyarakat sebagai dampak dari wabah Covid-19. Selain itu, peningkatan harga komoditas global masih ditransmisikan secara terbatas ke harga domestik.
“Meskipun demikian, pada paruh kedua 2021, terdapat tren positif pergerakan inflasi yang menunjukkan bahwa terdapat sinyal perbaikan permintaan seiring proses pemulihan ekonomi nasional yang masih berlangsung,” jelasnya.
Menkeu menilai bahwa inflasi komponen volatile food tercatat mengalami inflasi yang lebih tinggi terutama dipengaruhi oleh peningkatan harga Crude Palm Oil (CPO) global yang terus berlanjut. Inflasi volatile food tahun 2021 tercatat sebesar 3,2 persen (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi volatile food tahun 2020 yang mencapai 3,62 persen (yoy) dan merupakan inflasi volatile food terendah dalam 4 tahun terakhir.
Peningkatan juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan pada periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) di tengah implementasi berbagai pembatasan kegiatan masyarakat.
Selain itu, Menkeu melanjutkan bahwa kondisi cuaca dengan intensitas curah hujan yang tinggi dan La Nina menyebabkan gangguan produksi dan distribusi di sejumlah wilayah.
Meskipun demikian, Pemerintah terus berkomitmen untuk menjaga keseimbangan harga sehingga tidak hanya terjangkau untuk konsumen namun juga dapat memberikan kesejahteraan bagi petani.
“Pemerintah sependapat dengan pandangan F-Partai Gerindra untuk melakukan konsolidasi fiskal dalam rangka mengembalikan defisit APBN terhadap PDB di kisaran 3 persen pada tahun 2023, antara lain dengan mengoptimalkan potensi PNBP. Mengembalikan defisit anggaran ke batasan maksimal 3 persen terhadap PDB pada tahun 2023 merupakan amanat UU Nomor 2 Tahun 2020. Tidak hanya itu, konsolidasi fiskal menjadi kebutuhan mendasar untuk menjaga kesinambungan fiskal jangka menengah dan jangka panjang. Konsolidasi fiskal juga dapat menjadi momentum untuk meningkatkan akselerasi reformasi fiskal,” ungkapnya. (wwa)