SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menjadi topik hangat dalam diskusi Forum Legislasi yang berlangsung di Ruang PPIP Gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024). Diskusi tersebut menyoroti berbagai faktor yang menyebabkan tingginya kasus KDRT serta solusi untuk menanggulanginya.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Iskan Qolba Lubis, dalam paparan awalnya, menyebutkan bahwa salah satu penyebab berulangnya kasus KDRT adalah pandangan masyarakat yang menganggap laki-laki lebih superior. “Kebanyakan orang beranggapan bahwa laki-laki harus ‘menguasai’ perempuan, sedangkan perempuan dianggap lemah dan membutuhkan perlindungan,” kata Lubis. Ia menegaskan bahwa pandangan ini perlu diubah, mengingat perempuan sebenarnya memiliki kekuatan yang sering kali tidak terlihat karena mereka cenderung menyembunyikan penderitaan mereka.
Lubis menambahkan bahwa dalam konteks rumah tangga, laki-laki memang memiliki peran sebagai pemimpin, namun kepemimpinan tersebut terbatas pada manajemen rumah tangga dan bukan berarti laki-laki memiliki kuasa absolut. “Perempuan tidak seharusnya merasa lemah karena mereka adalah pribadi yang kuat,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi KDRT yang semakin memprihatinkan. Djamil mencatat bahwa banyak kasus KDRT tidak terekspos media akibat keterbatasan akses informasi. “Keterbatasan media sosial dan mainstream membuat banyak kasus KDRT tidak terlaporkan. Oleh karena itu, evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada sangat penting untuk mencegah KDRT,” tegasnya. Ia menekankan perlunya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan yang berkaitan dengan pencegahan KDRT serta perhatian terhadap variabel lain yang berperan dalam terjadinya kekerasan.
Pakar psikologi dari Universitas Indonesia, Mintarsih Abdul Latief, menambahkan perspektif sejarah dalam pembahasan ini. Latief mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dalam sebuah negara sering kali dipengaruhi oleh siapa yang memimpin negara tersebut. Negara yang dipimpin oleh perempuan, seperti ratu, cenderung memberikan perlindungan lebih kepada perempuan. Sebaliknya, negara yang dipimpin oleh laki-laki sering kali lebih fokus pada kepentingan laki-laki.
Latief juga menyebutkan bahwa faktor ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab KDRT. “Meskipun ekonomi berperan, namun tidak semua kasus KDRT bisa dijelaskan dengan masalah ekonomi. Misalnya, individu yang mengalami krisis ekonomi ekstrem tidak selalu mengalami KDRT. Sebaliknya, orang yang ekonominya relatif stabil pun bisa mengalami KDRT jika ada faktor subjektif yang mempengaruhi,” ujarnya.
Diskusi ini menyoroti pentingnya pendekatan holistik dalam menangani KDRT, termasuk perubahan perspektif sosial, evaluasi kebijakan, dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mendasarinya. Upaya bersama dari DPR, pemerintah, dan masyarakat diperlukan untuk menekan angka KDRT dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua pihak.
(ANTON)