SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah, mengingatkan bahwa peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar upacara seremonial. Di tengah pesatnya arus teknologi dan media sosial, ia menilai penting bagi generasi muda untuk memahami nilai-nilai perjuangan para pahlawan dan menjaga budaya bangsa.
Sebagai perempuan pertama yang menjabat Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah mengungkapkan bahwa selama ini upacara 17 Agustus telah rutin dilaksanakan. Namun, banyak yang memandangnya hanya sebagai seremonial belaka, padahal di baliknya tersimpan makna yang begitu mendalam.
Ia melanjutkan, jika dahulu peperangan melawan penjajah sangatlah jelas, kini bentuk perjuangan telah berubah. Tantangan saat ini datang melalui teknologi, mentalitas, dan ideologi.
“Di sinilah kita harus memaknai kembali bagaimana para pahlawan dulu berjuang untuk meraih kemerdekaan. Upacara bukan hanya soal seremoni, tetapi bagaimana generasi sekarang bisa memahami makna kemerdekaan itu sendiri,” ujar Siti Fauziah usai mengikuti Upacara Hari Kemerdekaan HUT RI ke-80 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (17/8/2025).
Penggunaan pakaian adat dalam upacara tahun ini, menurutnya, bukan sekadar simbol, melainkan cerminan dari Pancasila. Keberagaman bahasa, agama, dan budaya menunjukkan bahwa bangsa ini dapat tetap bersatu. Pesan inilah yang harus ditangkap oleh generasi muda.
“Namun, saya melihat adanya penurunan ketertarikan terhadap upacara. Banyak yang melihatnya hanya sebagai kewajiban. Ini sangat disayangkan. Di sinilah tantangan MPR dalam sosialisasi Empat Pilar. Nilai-nilai ini harus ditanamkan sejak dini, sehingga generasi mendatang lebih kuat,” tambahnya.
Siti Fauziah juga menuturkan bahwa kemajuan teknologi membuat akses informasi menjadi sangat mudah. Tantangannya adalah bagaimana generasi muda dapat menyikapi kemajuan ini tanpa melupakan sejarah dan budaya. Ia menekankan bahwa budaya bukan hanya sekadar tarian atau nyanyian.
“Tarian, misalnya, memiliki makna mendalam: dibuat pada momen tertentu, dengan pesan tertentu. Pemaknaan seperti ini mulai jarang,” tuturnya.
*Mengenang Pelajaran Budi Pekerti*
Siti Fauziah mencermati bahwa pemaknaan terhadap upacara kenegaraan dan nilai-nilai luhur mulai bergeser. Ia mengenang masa-masa sekolahnya ketika pelajaran budi pekerti masih diajarkan. Menurutnya, pelajaran ini sangat relevan untuk generasi muda saat ini, di mana teknologi dapat diakses dengan begitu mudah.
“Bagi saya, budi pekerti sangat penting, bukan sekadar tata krama, melainkan fondasi mental. Saat ini generasi muda, terutama gen Z, banyak yang kehilangan ‘unggah-ungguh’ atau tata krama terhadap orang tua,” ujar Siti Fauziah.
Berdasarkan pengalaman pribadi. Ia menyuarakan harapan agar nilai nilai budi pekerti dapat kembali ditanamkan pada generasi muda untuk memperkuat karakter generasi muda.
“Sampai sekarang saya tetap berharap nilai-nilai itu kembali diajarkan, karena kalau ada budi pekerti, anak-anak muda akan memiliki rasa malu dan tidak sebebas seperti sekarang,” pungkasnya.
(Anton)




















































