SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dalam sebuah momentum langka yang mempertemukan seni tradisi, kecanggihan teknologi, dan kedalaman refleksi budaya, lima kritikus seni rupa terkemuka Indonesia memberikan tanggapan penuh apresiasi terhadap lukisan Denny JA yang melahirkan genre baru: Imajinasi Nusantara.
Lukisan Denny JA tidak sekadar hadir sebagai objek visual. Ia tampil sebagai manifesto estetika digital Nusantara.
Genre itu direspons oleh lima nama besar dunia seni rupa: Agus Dermawan T, Merwan Yusuf, Frigidanto Agung, Mayek Prayitno, dan Bambang Asrini Widjanarko.
Genre Imajinasi Nusantara adalah gabungan unik antara realisme manusia, batik sebagai simbol lokalitas, lanskap surealis sebagai ruang batin kolektif, dan kecerdasan buatan sebagai medium ekspresi.
Karya-karya Denny JA dalam genre ini terekam dalam dua buku lukisan berjudul “Handphone, Kita Dekat Sekali” dan “Wonderland, Dunia Anak-anak”.
Agus Dermawan T menyebut karya Denny sebagai upaya “menyurealkan (surrealisme) realitas sosial-politik” melalui napas batik.
Baginya, lukisan-lukisan ini bukan hanya gambar, tetapi cara baru untuk menggugat estetika kolonial dengan simbol lokal yang akrab namun penuh perlawanan.
Merwan Yusuf menyebut genre ini sebagai “irealitas konkret”—visual yang tampak mustahil, tapi justru paling jujur dalam menangkap trauma.
“Genre ini adalah tangisan pelan dan perlawanan terhadap estetika,” tulisnya. Baginya, batik di lukisan Denny adalah medium protes: seni yang bersujud, bukan bersolek.
Frigidanto Agung membaca genre ini sebagai metafora untuk realita yang retak. Ia menyebut Denny JA sebagai pelukis yang memeluk luka global lewat bahasa visual.
“Ia bukan laporan WHO,” tulis Frigidanto, “tapi ia memeluk kita seperti ibu memeluk anak yang ketakutan.”
Mayek Prayitno memberi pengakuan eksplisit: “Imajinasi Nusantara adalah lompatan estetika.” Baginya, Denny JA tidak sekadar memanfaatkan teknologi digital, melainkan menyulap AI menjadi alat kontemplasi artistik.
Di tengah derasnya arus visual, Denny tampil sebagai “suara liyan” suara yang lain, yang menyebarkan pesan perdamaian.
Bambang Asrini Widjanarko menyebut lukisan Denny sebagai “doa yang diam”—tempat di mana keheningan, dimensi psikologis, dan algoritma bertemu dalam arsitektur visual.
Menurutnya, @AI adalah alat. Imajinasi adalah jiwa. Dan lukisan adalah ruang merenung di dunia yang terlalu bising.”
-000-
Imajinasi Nusantara bukan sekadar gaya melukis. Ia adalah genre visual kontemporer Indonesia, yang terlahir dari benturan antara budaya lokal (batik), tragedi global (pandemi, perang, krisis iklim), dan medium digital (AI).
Setiap lukisan adalah ruang tafsir. Dalam satu karya, seorang anak kecil berkaus batik berdiri di jalanan sepi, menatap langit penuh virus mahkota.
Lampu merah menyala. Dunia berhenti. Namun batik di tubuh sang anak berbicara: tentang identitas, rumah, dan ketahanan jiwa.
Genre ini menjawab satu pertanyaan penting: bagaimana merekam absurditas global tanpa kehilangan akar kultural?
-000-
Di Tengah Bisingnya Algoritma, Denny JA Mengajak Kita Diam dan Merenung
Imajinasi Nusantara bukan untuk menjawab dunia. Ia justru bertanya.
Dalam dunia yang semakin algoritmis dan terpaku pada efisiensi, karya Denny JA mengingatkan bahwa seni adalah warisan spiritual, bukan sekadar produk teknologi.
Lukisan bukan hanya gambar. Ia adalah doa visual, dokumentasi batin, dan manifesto kebudayaan digital Nusantara.
Dari genre ini, kita tidak hanya melihat Indonesia yang baru, tetapi merasakannya, dalam bentuk pixel, batik, dan harapan.
Tautan Buku Lukisan Denny JA (Format Digital):