SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menekankan pentingnya gerakan bersama untuk mewujudkan ekonomi sirkular sebagai langkah strategis dalam menekan dampak negatif dari fenomena fast fashion di masyarakat. Fast fashion, yang mendorong penggunaan pakaian dalam waktu singkat, menghasilkan limbah signifikan yang berdampak buruk pada lingkungan.
“Dampak lingkungan dari limbah fashion sangat serius, mulai dari polusi air dan tanah hingga peningkatan emisi gas rumah kaca yang mempengaruhi perubahan iklim,” ujar Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema “Fast Fashion dan Dampaknya pada Lingkungan,” yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/7/2024).
Diskusi ini menyoroti pentingnya adaptasi industri fashion terhadap ancaman perubahan iklim, dengan fokus pada bagaimana industri ini dapat tumbuh tanpa merusak lingkungan. Lestari menggarisbawahi bahwa perilaku konsumsi yang merusak lingkungan harus diubah menjadi lebih bertanggung jawab.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M, hadir juga sejumlah narasumber seperti Asri Hadiyani Giastuti dari Bappenas, Prof. Dr. Endang Warsiki dari IPB, Petty S Fatimah dari Akademi Femina, dan Aryenda Atma, CEO Pable. Mereka membahas berbagai aspek dari dampak fast fashion, termasuk polusi, emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Asri Hadiyani mengungkapkan bahwa di dunia, penggunaan material yang tidak berkelanjutan berkontribusi besar pada masalah lingkungan global. Ia menekankan perlunya praktik ekonomi sirkular di sektor tekstil, mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen tekstil terbesar di dunia. Menurutnya, pemanfaatan kembali barang bekas dan peningkatan efisiensi bahan baku adalah langkah penting.
Petty S Fatimah menambahkan bahwa gaya hidup berperan besar dalam pola konsumsi masyarakat, termasuk dalam memilih pakaian. Ia mengajak masyarakat untuk lebih sadar akan dampak pilihan mereka terhadap lingkungan dan mendorong pemahaman tentang konsep “cost per used” sebagai langkah bijak dalam konsumsi fashion.
Sementara itu, Aryenda Atma memaparkan tantangan besar dalam pengelolaan limbah tekstil di Indonesia. Dengan populasi besar dan industri fashion yang produktif, Indonesia menghasilkan jutaan ton limbah tekstil setiap tahun. Ia menekankan pentingnya menggunakan material ramah lingkungan dan meningkatkan edukasi masyarakat dalam penerapan ekonomi sirkular.
Diskusi ini juga menghadirkan pandangan dari para ahli seperti Prof. Endang Warsiki yang menjelaskan potensi daur ulang serat kain menjadi bahan dasar baru, serta wartawan Media Indonesia, Indrastuti, yang menekankan perlunya kampanye berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekonomi sirkular di sektor tekstil.
Wartawan senior Saur Hutabarat menutup diskusi dengan menyoroti tantangan utama dalam menerapkan ekonomi sirkular di sektor tekstil, yaitu perubahan gaya hidup dan pelembagaan ekonomi daur ulang hingga ke tingkat masyarakat. Ia menegaskan pentingnya komunikasi publik yang masif untuk mendorong perubahan ini.
Diskusi ini menegaskan bahwa dengan sinergi antara pemangku kepentingan dan masyarakat, Indonesia bisa menjadi pionir dalam mengatasi dampak lingkungan dari fast fashion melalui penerapan ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
DSK | Foto: Humas MPR RI