SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis pertalite seharusnya Rp14.450 per liter atau lebih mahal dari harganya saat ini, Rp7.650 per liter.
Kuota subsidi BBM Pertalite dan Solar volumenya akan habis pada akhir September dan Oktober 2022. Sri Mulyani menjelaskan, dari kuota Pertalite yang dialokasikan sebesar 23 juta kilo liter di tahun ini, namun hingga akhir Juli 2022 volumenya sudah habis terpakai hingga 16,4 juta kilo liter.
Sehingga saat ini hanya tersisa 6,6 juta kilo liter yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan diperkirakan akan habis pada akhir September 2022.
“Kita jualnya hanya Rp7.650 per liter. Ada perbedaan Rp6.800 per liter itu harus kita bayar ke Pertamina. Itulah subsidi kompensasi,” ujarnya saat menghadiri rapat kerja bersama DPD RI, di Gedung DPR/MPR RI, Kamis (25/8/2022).
“Kalau diikuti pertengahan bahkan akhir September habis (volumenya) untuk Pertalite,” tambahnya.
Sementara harga solar Rp13.950 per liter atau di atas harganya saat ini Rp5.150 per liter. Artinya ada selisih Rp8.800 per liter. Sementara untuk kuota Solar yang alokasikan volume kuotanya mencapai 15,1 juta kilo liter, hingga Juli 2022 volume konsumsinya sudah terpakai 9,88 juta kilo liter.
Sehingga saat ini kuotanya hanya tersisa kurang lebih 5,22 juta kilo liter. “Kalau mengikuti tren ini, Oktober akan habis kuotanya,” ujarnya.
Pemerintah sudah menambah alokasi subsidi pemerintah dari Rp170 triliun menjadi Rp502 triliun. Namun, ia memperkirakan jumlahnya tidak akan cukup mengingat ada lonjakan harga minyak di atas asumsi awal pemerintah.
“Januari-Juli ini, harga rata-rata dari ICP minyak Indonesia di US$105, ada beda US$5. Yang kita mintakan US$100 tapi ternyata US$105,” ujarnya.
Sri Mulyani bilang, saat pemerintah meminta persetujuan kepada Banggar DPR untuk penambahan subsidi dan kompensasi hingga Rp 502,4 triliun, hitungan pemerintah adalah dengan menggunakan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sebesar US$ 100 per barel dengan kurs nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.450/US$.
Di tengah tensi geopolitik Rusia dan Ukraina, membuat harga minyak mentah kemudian naik, hingga mencapai US$ 105 per barel dan membuat nilai tukar rupiah ikut terdepresiasi hingga Rp 14.750 per dolar Amerika Serikat.
Alhasil, jika volume konsumsi Pertalite dan Solar tersebut tidak dikendalikan di tengah harga minyak mentah dunia dan kurs nilai tukar rupiah yang masih berfluktuasi, maka anggaran sebesar Rp 502,4 triliun tersebut tidak lagi bisa lagi menahan harga energi, terutama Pertalite dan Solar.
Sri Mulyani bilang, saat ini harga jual eceran Pertalite sebesar Rp 7.650 per liter, padahal kalau dengan kurs ICP US$ 100 per barel dan kurs Rp 14.450/US$, seharusnya harga keekonomian Pertalite sebesar Rp 14.450 per liter. Selisih sebesar sekitar Rp 6.800 per liter itu yang kemudian dibayarkan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai kompensasi.
Selain itu, pemerintah juga menanggung subsidi lebih besar untuk LPG tabung 3 kg. Saat ini, harga LPG tabung 3 kg hanya Rp 4.250 per kg. Padahal, harga keekonomiannya Rp 18.500 per kg.
“Karena besaran inilah, waktu menyampaikan di DPR subsidi [awal] Rp 158 triliun jelas tidak cukup dan ini baru masalah harganya,” ujarnya.
Sementara untuk Solar, dengan harga jual eceran sebesar Rp 5.150 per liter, dengan harga keekonomian seharusnya dijual sebesar Rp 13.950 per liter. Sehingga ada selisih sekira Rp 8.300 per liter yang kemudian harus dijamin pemerintah lewat kompensasi kepada Pemerintah.
Selanjutnya, harga jual eceran LPG 3 kg saat ini sebesar Rp 4.250 per kilogram, padahal harga keekonomiannya seharusnya dijual Rp 18.500 per kilogram. Sehingga selisih sekira Rp 14.000 per kilogram tersebut yang juga harus dibayarkan pertamina ke badan usaha.
“Kalau ada bilang subsidi dicabut, kita tidak mencabut subsidi, duitnya habis Rp 502 triliun. Kita mau nambah atau tidak? Kalau nambah dari mana anggarannya, suruh ngutang?,” kata Sri Mulyani.
“Nambah (subsidinya) itu kira-kira kalau trennya sama dengan harga minyak US$ 104 hingga US$ 105 per barel, dengan depresiasi nilai tukar, menjadi Rp 14.750, harus ditambah lagi subsidinya karena minyak masih diimpor,” kata Sri Mulyani lagi.
Sri Mulyani juga menjelaskan, pemerintah sudah jor-joran lewat APBN untuk menahan harga energi, mulai dari BBM, LPG 3 kg, hingga listrik di tahun ini lewat anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp 502,4 triliun, atau naik hampir tiga kali lipat dari alokasi sebelumnya yang hanya mencapai Rp 158 triliun.
Saat ini, pemerintah masih mempertimbangkan berbagai opsi untuk menghadapi risiko jebolnya subsidi BBM. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah menaikkan harga BBM.
Sinyal tersebut makin kuat setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar mengungkapkan Presiden Joko Widodo akan mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi pekan ini. (wwa)