SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Kerusuhan dalam aksi unjuk rasa Solidaritas Rakyat Papua Pro-Demokrasi Se-Sorong Raya di Kota Sorong, Rabu (27/8/2025), menuai sorotan tajam. Aksi yang dipicu penolakan pemindahan empat tahanan politik (tapol) dari Sorong ke Makassar itu berakhir ricuh, memakan korban jiwa dari warga sipil maupun aparat keamanan.
Ketua MPR for Papua, Yorrys Raweyai, menyampaikan keprihatinannya atas jatuhnya korban. Menurutnya, penyampaian aspirasi adalah hak konstitusional yang seharusnya tidak menempatkan masyarakat dan aparat dalam posisi saling berhadap-hadapan.
“Unjuk rasa dijamin oleh konstitusi. Aparat seharusnya memberikan rasa aman agar aspirasi bisa tersampaikan, bukan justru menimbulkan korban,” tegas Yorrys, Rabu (28/8/2025).
Wakil Ketua DPD RI itu juga mempertanyakan pola pengamanan aparat. Ia menilai pendekatan represif justru memicu eskalasi, padahal Kapolri sudah menginstruksikan agar penanganan demonstrasi dilakukan dengan persuasif, humanis, dan profesional.
Senada, Sekjen MPR for Papua Filep Wamafma menilai langkah pemindahan tapol tanpa musyawarah adalah kebijakan tergesa-gesa dan sepihak. Menurutnya, kebijakan itu wajar menuai penolakan publik.
“Pemindahan tapol itu tidak memiliki alasan cukup kuat. Justru memperkeruh suasana dan menghambat upaya menjadikan Papua sebagai Tanah Damai,” ujar Ketua Komite III DPD RI tersebut.
Dalam kerusuhan di Sorong, sejumlah fasilitas pemerintah, termasuk rumah dinas Gubernur Papua Barat Daya, ikut menjadi sasaran amuk massa. Bentrokan tak terhindarkan, hingga menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
Aksi itu dipicu keputusan pemindahan empat tapol yang diduga melakukan makar. Pemerintah menyebut langkah tersebut dilakukan karena situasi persidangan di Sorong dianggap tidak kondusif. Namun, bagi sebagian masyarakat Papua, langkah itu dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat.
(Anton)