SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dalam situasi yang semakin mengkhawatirkan, dua tenaga kerja wanita Indonesia di Istanbul akhirnya mendapat perhatian, setelah mengalami perlakuan yang jauh dari manusiawi. Bukan cerita baru, tapi kali ini, Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung dan Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, berhasil mengungkap secara langsung kisah pilu dua TKW yang hampir jadi korban sistem yang abai.
Salah satunya adalah Ibu Jumara, yang dibuang begitu saja oleh majikan hanya karena sedang sakit. Tak cuma itu, perjalanan tragis Ibu Jumara berawal dari Qatar, di mana ia bekerja tanpa gaji, tanpa perlindungan, dan tanpa harapan. Setelah itu, dia dipindahkan ke Istanbul, dengan kondisi yang tak lebih baik. Paspor? Ada. Uang saku? 100 dolar—itu pun untuk bertahan hidup di Istanbul.
“Ibu ini hanya diberi paspor dan uang 100 dolar. Satu minggu lebih di jalan, dan akhirnya dibuang begitu saja,” ujar Filep Wamafma, yang kesal dengan fakta betapa minimnya perhatian terhadap nasib warganya di luar negeri.
Setelah beberapa jam menggelandang, Ibu Jumara dan seorang rekannya akhirnya mendapat pertolongan dari Polisi Istanbul, yang mengantarkan mereka ke KJRI. Namun masalahnya belum selesai. Negara tidak memberikan bantuan logistik untuk memulangkan mereka ke Indonesia. Padahal, mereka sudah berusaha menghubungi keluarga, namun tak ada yang bisa membantu.
“KJRI juga tidak memiliki anggaran untuk membantu mereka pulang. Bahkan, Komjen di sana pun tak bisa berbuat banyak,” ungkap Filep, menambahkan bahwa tindakan cepat sangat dibutuhkan, karena jika tidak ada bantuan, mereka tetap akan terdampar di sana.
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, Komite III DPD akhirnya terpaksa turun tangan. Tak hanya untuk mengurus kepulangan kedua TKW tersebut, tapi juga untuk menyoroti sistem pengiriman tenaga kerja migran yang dianggap gagal total. Bagaimana tidak? Ibu Jumara dan rekannya dikirim ke luar negeri dengan bekal minim pengetahuan dan keterampilan—bahasa asing yang tidak dikuasai, pengalaman yang kurang, dan bahkan keahlian yang tidak memadai untuk bertahan hidup.
“Sistem kita sudah memproduksi korban, bukan solusi. Ini bukan masalah satu dua orang, tapi masalah besar yang melibatkan banyak negara,” tegas Tamsil Linrung, yang tidak menutupi rasa kesalnya terhadap ketidakpedulian sistem.
Bukan hanya di Turki, kejadian serupa juga terjadi di negara lain, seperti Singapura, di mana seorang TKI lainnya harus meminta bantuan untuk pulang karena agen yang memberangkatkan cuci tangan, meninggalkan pekerja dengan dokumen yang tidak lengkap.
“Sebagian dokumen yang dia punya belum dikembalikan oleh agen, dan kami harus bergerak cepat untuk membantu dia kembali ke Indonesia,” jelas Tamsil, yang lagi-lagi menyoroti lemahnya regulasi yang mengatur pengiriman tenaga kerja migran.
Namun, ada juga sedikit kabar baik: Long PMI, sebuah layanan yang membantu pekerja migran, membantu memfasilitasi kepulangan para TKI tersebut. Tapi ini pun tidak tanpa hambatan, karena masalah utama tetap pada proses pemberangkatan yang sembarangan dan kurangnya pelatihan yang memadai bagi para calon pekerja.
“Mestinya mereka dibekali pengetahuan dasar—bahasa, budaya, dan cara bertahan hidup di negara yang akan mereka tuju,” ujar Tamsil, menyindir praktik perekrutan yang minim edukasi.
Di tengah kegagalan sistem ini, sebuah fakta yang tak bisa disembunyikan adalah soal biaya: KJRI di Turki tidak memiliki anggaran untuk membantu, sementara agen dan perusahaan pengirim tenaga kerja juga seakan tak peduli. Tamsil sendiri mengingatkan bahwa penyelenggara pemberangkatan harus diberikan sanksi tegas, mengingat peran mereka yang sangat besar dalam memperburuk nasib TKI.
“Harus ada sanksi tegas. Agen-agen ini tidak bisa memperlakukan pekerja migran seperti barang yang bisa dibuang begitu saja. Kami akan terus dorong supaya ada evaluasi sistem yang total,” tegas Tamsil.
Negara ini masih jago ngirim warganya ke luar negeri, tapi saat mereka terjebak dalam kesulitan, negara hanya hadir dalam bentuk selembar rapat atau foto-foto pejabat. Padahal, yang dibutuhkan adalah tindakan nyata, mulai dari perbaikan sistem perekrutan hingga perlindungan yang layak bagi tenaga kerja kita di luar negeri. Jika tidak, jangan harap bisa ada perubahan berarti.
Ibu Jumara dan rekannya bukanlah kasus pertama, dan pasti tidak akan jadi yang terakhir. So, masihkah kita hanya diam melihat mereka yang diperlakukan seperti barang ekspor?
(Anton)