SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejakgung) menilai, kewajiban pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri (DMO) oleh PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas, dan Permata Hijau Group, hanya formalitas.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengungkapkan, hasil penyidikan terungkap, DMO sebagai syarat penerbitan persetujuan ekspor (PE) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk tiga perusahaan minyak goreng tersebut, dilakukan tanpa klarifikasi, dan pengendalian.
Pernyataan itu, membantah data Kemendag. Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Luthfi, pernah menyebutkan, tiga perusahaan minyak goreng penerima PE CPO dan turunannya itu, sebagai pihak dengan implementasi DMO tertinggi sepanjang 14 Februari sampai 8 Maret 2022.
Dikatakannya, PT Wilmar Nabati Indonesia, menyalurkan 99,2 juta liter minyak goreng ke pasar domestik. Sedangkan PT Musim Mas, menyalurkan 66,3 juta liter minyak goreng, dan Permata Hijau Group, menyalurkan 21,1 juta liter.
Akan tetapi, Febrie mengatakan, hasil penyidikan terungkap, PE yang diterbitkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Kemendag, dilakukan tanpa mengetahui kewajiban DMO tersebut, terealisasi nyata di lapangan atau tidak.
Pun, kata Febrie, DMO oleh perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan hanya formalitas belaka, untuk mengejar penerbitan PE oleh Kemendag.
“DMO itu hanya dilihat di atas kertas formal, dan itu sulit kita dipercaya. Yang kita buktikan itu, di lapangan, terjadi kelangkaan, dan harganya sangat tinggi. Dan itu terjadi selama Januari, Februari, Maret. Bahkan, barangnya kosong, tidak ada di pasaran. Ini membuktikan, bahwa ketika ekspor, tanpa ada kendali, dan klarifikasi DMO-nya,” kata Febrie seperiti dikutip dari laman Republika, Kamis (21/4/2022).
Febrie, mengatakan, PE yang diterbitkan pun terindikasi suap, dan gratifikasi. Karena kata Febrie, PE tersebut diterbitkan, tanpa ada kendali, dan klarifikasi DMO.
“Khusus mengenai itu (suap, dan gratifikasi) sampai saat ini, masih belum dapat saya buka, karena ini masih pendalaman terus,” ujar Febrie menambahkan.
Yang pasti, Febrie menegaskan, kasus dugaan korupsi penerbitan PE minyak goreng di Kemendag tersebut, akan diusut tuntas. Menurut dia, tak menutup kemungkinan dari hasil penyidikan, akan mengarah ke penetapan tersangka-tersangka baru. Termasuk upaya tim penyidikan, untuk menjerat pidana korporasi.
Dalam kasus ini, Kejakgung, pada Selasa (19/4/2022) menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana (IWW), yang ditetapkan sebagai tersangka selaku Direktorat Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri pada Kementerian Perdangan (Kemendag).
Tiga tersangka lainnya, adalah pihak swasta. Yakni, Stanley MA (SMA) yang ditetapkan tersangka selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG). Master Parulian Tumanggor (MPT), ditetapkan tersangka selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI). Dan Pierre Togar Sitanggang (PTS), yang ditetapkan tersangka selaku General Manager di Bagian General Affair pada PT Musim Mas.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi pernah menjelaskan, konstruksi besar dugaan korupsi PE minyak goreng di Kemendag itu, berawal dari aturan pemerintah, terkait dengan 20 persen kewajiban pemenuhan DMO, dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya.
Aturan tersebut, syarat mutlak bagi para produsen CPO, dan turunannya, untuk mendapatkan PE CPO dan turunannya ke luar negeri.
Akan tetapi, dikatakan Supardi, dari penyidikan terungkap, adanya semacam persekongkolan, menganulir aturan DMO, dan DPO itu oleh perusahaan-perusahaan para tersangka, sejak Januari 2021, sampai Maret 2022.
Menurut Supardi, tersangka IWW, sebagai Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Kemendag, yang memegang kendali penerbitan PE, dituding berkomunikasi intens, dengan tersangka MPT, SMA, dan PTS, agar perusahaan-perusahaan mereka, yang melanggar ketentuan DMO dan DPO, mendapatkan PE CPO dan turunannya.
Hal tersebut, yang diyakini Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan, dan pelambungan harga tinggi komoditas minyak goreng di saentero negeri, yang terjadi sejak akhir 2021 lalu.
Sebab, perusahaan-perusahaan tersebut, dengan sepihak melepas hasil produksinya ke luar negeri, untuk mencari keuntungan sendiri, tanpa ada kewajiban memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang menjadi syarat penerbitan izin ekspor tersebut.
“Hari ini, adalah langkah hadirnya negara untuk mengatasi, dan membuat terang apa yang sebenarnya terjadi tentang kelangkaan, dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 lalu,” begitu kata Jaksa Agung Burhanuddin, saat konfrensi pers penetapan 4 tersangka di Gedung Utama Kejakgung, di Jakarta, pada Selasa (19/4/2022). (wwa)