SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Yogyakarta, Perselisihan antara Keraton Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) terkait kepemilikan lahan di area Stasiun Tugu Yogyakarta berlanjut dengan sidang gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Gugatan yang diajukan oleh pihak Keraton pada Senin, 11 November 2024, diwakili oleh Gusti Condro, putri kedua dari Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Menurut keterangan Gusti Condro, Keraton menuntut ganti rugi simbolis sebesar Rp1.000. Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai nominal tersebut, tetapi gugatan ini menyoroti status kepemilikan lahan di sejumlah wilayah yang diklaim sebagai milik Keraton atau dikenal dengan istilah “Sultan Ground.”
Tanah yang Dipermasalahkan
Gugatan ini terdaftar di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Yogyakarta dengan nomor perkara 137/Pdt.G/2024/PN YK. Pihak Keraton mendaftarkan gugatan ini sejak 22 Oktober 2024 dan mengklaim sejumlah wilayah yang digunakan PT KAI serta beberapa instansi pemerintah sebagai bagian dari Sultan Ground.
Dalam gugatan tersebut, setidaknya ada lima lokasi yang diklaim oleh Keraton, antara lain:
- Stasiun Tugu Yogyakarta.
-
Kantor Kecamatan Gedongtengen.
-
Depo Stasiun Tugu.
-
Sisi selatan Stasiun Tugu.
-
Mess Ratih ke arah barat.
Jalannya Persidangan
Sidang perdana telah dijadwalkan pada 11 November 2024, tetapi terpaksa ditunda karena pihak tergugat, dalam hal ini PT KAI, Kementerian BUMN, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Yogyakarta, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan, tidak hadir. Akibat ketidakhadiran tersebut, sidang kedua dijadwalkan pada 12 November 2024 dengan agenda pemanggilan ulang bagi kedua belah pihak.
Heri Kurniawan, Humas PN Yogyakarta, membenarkan adanya gugatan dari Keraton dan menyatakan pihaknya siap memfasilitasi jalannya persidangan guna mencari solusi atas sengketa tanah ini. Menurutnya, sidang kedua akan difokuskan pada pembacaan gugatan dan penyampaian tanggapan dari pihak tergugat.
Latar Belakang Sengketa
Perselisihan antara Keraton dan PT KAI terkait tanah di Yogyakarta bukanlah hal baru. Sultan Ground adalah istilah untuk tanah yang diklaim sebagai hak milik Sultan dan tidak dapat dialihfungsikan tanpa izin dari Keraton. Tanah ini memiliki nilai sejarah dan kultural yang penting bagi Keraton Yogyakarta, yang sering kali bertabrakan dengan kepentingan pembangunan modern.
Pihak Keraton menegaskan bahwa tindakan ini bukanlah soal nominal ganti rugi, melainkan upaya mempertahankan warisan budaya dan hak atas tanah yang sudah turun-temurun menjadi bagian dari Keraton. Nilai ganti rugi Rp1.000 dianggap sebagai simbolisasi bahwa masalah utama adalah pengakuan kepemilikan, bukan aspek finansial.
Sikap PT KAI dan Pemerintah
Hingga berita ini diturunkan, PT KAI dan instansi terkait belum memberikan pernyataan resmi mengenai gugatan yang diajukan Keraton. Namun, beberapa pakar hukum menilai bahwa kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam menentukan status tanah adat di Indonesia, terutama yang terkait dengan Keraton atau Kesultanan yang memiliki hak historis terhadap lahan-lahan tertentu.
Jadwal Sidang Berikutnya
Sidang kedua dijadwalkan pada 12 November 2024 di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Pihak pengadilan berharap agar seluruh pihak tergugat dapat hadir untuk memberikan tanggapan dan berdiskusi mengenai solusi terbaik yang menghormati hak-hak historis Keraton sekaligus mempertimbangkan kepentingan publik dalam penggunaan fasilitas transportasi dan layanan umum di Yogyakarta.
Gugatan ini menyoroti pentingnya pengakuan dan pelestarian hak-hak adat dalam konteks modernisasi dan pembangunan infrastruktur. Apakah tanah yang diklaim sebagai Sultan Ground akan diakui sebagai milik Keraton atau tidak, sidang ini akan menjadi langkah penting dalam menyeimbangkan antara tradisi, hukum adat, dan kebutuhan modern di Yogyakarta.
(ANTON)