SUARAINDONEWS.COM, Tanjungpinang – Kanwil Kemenkumham Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mencatat hingga tahun 2024 terdapat 215 data perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga asing di wilayah setempat. Perkawinan campuran ini tersebar di tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Karimun (15 orang), Kota Tanjungpinang (7 orang), dan sisanya didominasi oleh Kota Batam dengan 193 orang.
Kepala Kanwil Kemenkumham Kepri I Nyoman Gede Surya Mataram menjelaskan bahwa perkawinan campuran ini melibatkan berbagai etnis, termasuk warga negara Singapura, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Menurut Surya Mataram, perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa perkawinan ini terjadi antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan, dengan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
“Apabila perkawinan campuran dilakukan di luar negeri, misalnya di Singapura, ketika kembali ke Indonesia, pernikahan tersebut harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) setempat supaya tercatat secara resmi,” ujarnya di Tanjungpinang, Kamis (16/8/2024).
Surya Mataram juga menyoroti kondisi geografis Kepri yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura, menjadikan perkawinan campuran sebagai hal yang sangat mungkin terjadi di daerah tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa WNI yang ingin menikah dengan WNA harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti memiliki dokumen perjalanan berupa paspor, izin tinggal, serta surat persetujuan dari kedutaan atau konsulat negara bersangkutan yang ada di Indonesia.
“Surat persetujuan ini menjadi bukti apakah WNA tersebut sudah menikah atau belum di negara asalnya. Kami sarankan, jangan sampai warga kita tertipu, jika WNA tersebut sudah menikah di negaranya, sebaiknya jangan menikah lagi di sini,” ucapnya.
Terkait anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran, Surya Mataram menegaskan bahwa mereka memiliki dua kewarganegaraan, seperti Indonesia dan Singapura. Anak-anak ini dapat memiliki dua paspor hingga usia maksimal 21 tahun, setelah itu mereka harus memilih salah satu kewarganegaraan.
Secara terpisah, Kepala Ombudsman Kepri Lagat Siadari menambahkan bahwa perkawinan campuran di Batam, yang sejak lama menjadi daerah pengembangan industri, merupakan hal biasa. Namun, ia juga menyoroti beberapa perkawinan campuran yang tidak tercatat secara resmi, sehingga dapat memicu persoalan hukum di kemudian hari, seperti status anak hasil perkawinan atau harta benda saat terjadi perceraian.
Lagat menilai masih ada warga Indonesia, terutama di Kepri, yang belum menyadari risiko yang ditimbulkan dari perkawinan campuran. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait perlu gencar memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko kehilangan status kewarganegaraan Indonesia akibat perkawinan dengan WNA.
Ia juga menyarankan Kanwil Kemenkumham Kepri untuk menyediakan layanan call center bagi warga yang membutuhkan edukasi dan informasi sebelum memutuskan perkawinan campuran dengan orang asing. Langkah ini diharapkan dapat membantu masyarakat melakukan mitigasi terhadap risiko dan dampak hukum di masa depan terkait perkawinan campuran tersebut.
Tetap pantau SUARAINDONEWS.COM untuk informasi lebih lanjut mengenai isu-isu penting lainnya.
EK | Foto: Antara