SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Terkait tindak pidana korupsi, Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa enam orang saksi perkara korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, pada industri kelapa sawit periode Januari sampai dengan April 2022.
Dalam kesempatannya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, menerangkan adanya enam saksi yang diperiksa.
“Keenam saksi yang diperiksa adalah OND selaku Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI, AS selaku Direktur PT Andalan Prima Indonesia, dan M selaku General Manager Pabrik Produksi PT Mikie Oleo Nabati Industri,” VPK selaku Deputi Head PT Bukti Inti Makmur Abadi, AD selaku Direktur Executive Merchandising PT Indomarco Prismatama, dan VIO selaku Kepala Divisi Manajemen Rantai Pasok PT Perusahaan Perdagangan Indonesia,” terang Sumedana dalam keterangannya, pada Kamis (05/10/2023) kemarin.
Lebih lanjut, Sumedana menjelaskan keenam orang saksi diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit dalam Januari 2022 sampai dengan April 2022 lalu. Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka.
“Adapun keenam orang saksi diperiksa terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit dalam Januari 2022 sampai dengan April 2022 atas nama tersangka Korporasi Wilmar Grup, tersangka Korporasi Permata Hijau Grup, dan tersangka Korporasi Musim Mas Grup,” jelasnya.
Diketahui, dalam perkara korupsi tersebut, telah selesai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tingkat kasasi. Adapun lima orang terdakwa terkait tiga korporasi itu telah dijatuhi pidana penjara dalam rentang waktu 5 – 8 tahun.
Pada putusan perkara itu, Sumedana memaparkan, terdapat satu hal yang sangat penting yaitu Majelis Hakim memandang perbuatan para terpidana adalah merupakan aksi korporasi.
“Oleh karenanya, Majelis Hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi (tempat dimana para terpidana bekerja). Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya,” paparnya.
Untuk diketahui, dalam rangka menegakkan keadilan, Kejaksaan Agung mengambil langkah penegakan hukum dengan melakukan penyidikan korporasi, guna menuntut pertanggungjawaban pidana serta untuk memulihkan keuangan negara.
Sebagaimana diketahui juga, Negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara itu. Selain itu, perbuatan para terpidana juga telah menimbulkan dampak siginifikan, yaitu terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan masyarakat khususnya terhadap komoditi minyak goreng.
Akibatnya, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, Negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun. (RED)