SUARAINDONEWS.COM, Padang-Sebuah majalah ternama pernah melakukan survey intern, bahwa rubrik seni budaya paling sedikit pembacanya. Padahal kue iklan di media massa di tahun 2018 mencapai Rp 140 Triliun – Rp 160 Triliun. Akan tetapi jika ada peristiwa besar yang menarik seperti festival, pameran, penemuan (benda purbakala misalnya), kasus (kehilangan koleksi museum), seminar konroversial (dengan pembicara tokoh-tokoh nasional) dengan topik besar, media-media itu (dari pusat sampai daerah) “turun gunung” untuk berlomba-lomba meliput. Baik dalam bentuk liputan mendalam, investigasi, maupun berita lempang biasa, atau hanya berita foto.
Dan para pelaku budaya yang ingin beritanya diliput oleh media, maka perlu pintar-pintar mengemas isu dan penyajian acaranya. Usaha ekstra keras perlu dilakukan oleh pelaku budaya yang “jualannya warisan masa lalu”, agar bisa dimakan dengan lahap oleh orang-orang “masa kini”.
Sehingga perlu di ingat, media massa pada umumnya tertarik dan selalu mencari sudut pandang “yang baru, yang baru, dan yang baru”. Maka mengemas “teks dan konteks” menjadi suatu keniscayaan, agar warisan masa lalu, bisa hadir sebagai/di masa kini.
Sementara itu, dari warisan budaya kita, kita memiliki begitu banyak warisan kearifan lokal. Akan tetapi untuk menjualnya sebagai informasi, di media massa (cetak) warisan tradisi (sebagai teks) mesti dikaitkan dengan konteks (momentum, hari peringatan, pemaknaan tertentu, dan sebagainya) yang aktual. Menjual teks warisan budaya yang tangible (bendawi) mauapun intangible (bukan bendawi) tanpa memperhatikan konteks, termasuk dalam kaitan ruang dan waktu, yang tepat, hanya akan mubazir.
Apalagi November 2017 yang lalu, UNESCO telah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara super power di bidang kebudayaan. Dan Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa DNA bangsa Indonesia itu seni budaya (bukan ekonomi atau politik-pen).
Namun sayangnya pemerintahan Jokowi, belum berani menjadikan kebudayaan sebagai salah satu prioritas pembangunan. Bahkan alokasi anggaran kebudayaan di APBN 2018 hanya Rp1,5 T dari jumlah total anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 40 T. Bandingkan dengan di Malaysia, Thailand, dan Kanada, dimana anggaran warisan budaya bisa mencapai Rp 100 T.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Nadjamuddin Ramly menambahkan bahwa Indonesia dewasa ini memiliki kekayaan warisan budaya yang luar bisa banyaknya. Sayangnya anggaran untuk pelestariannya kurang memadai. Pada hal warisan budaya itu penting sebagai penguat jati diri bangsa.
Meskipun kebudayaan belum menjadi prioritas pemerintahan Joko Widodo, mantan Gubernur DKI dan Wali Kota Surakarta ini, pada HPN 2018 menaruh perhatian pada tradisi dan warisan budaya saat mengunjungi Kabupaten Solok Selatan. Dimana saat melihat rumah-rumah gadang yang cantik-cantik dalam usianya yang tua — yang pernah dilihat pertama kali sebelum jadi wali kota — langsung memerintahkan Menteri PUPR merevitalisasi rumah-rumah di Nagari Saribu Rumah Gadang itu, dan harus selesai tahun ini, 2018.
Begitu pula saat memberikan sertifikat tanah keluarga pelopor pers Djamaluddin Adinegoro, di Talawi, Sawahlunto, Jokowi spontan mendukung pendirian Museum Adinegoro. Bahkan saat mengunjungi Nagari Tuo Pariangan, di Kabupaten Tanah Datar, yang merupakan tempat cikal bakal Suku Minangkabau di Sumatera Barat, Presiden langsung memerintahkan menteri terkait untuk merevitalisasi. Beberapa tahun lalu desa kuno ini, telah dinyatakan oleh Travel Budget, sebuah media pariwisata berpengaruh di dunia, sebagai satu dari lima desa kuno terindah di dunia yang ada di Indonesia.
Terkait rumah gadang, dalam Seminar 1 Februari 2018 di Padang, yang digelar oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, menyorot “Media Massa dan Warisan Budaya”. Salah satu pembicara, Kenedi Nurhan (Kompas) mengatakan bahwa rumah gadang sudah masuk ke dalam 19 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia dari Sumatera Barat. Termasuk juga, sistem garis keturunan Ibu di masyarakat Minangkabau, Songket Pande Sikek, Tato Mentawai, Silek (silat) Minang, Randai, Pasambahan, Tari Piriang (piring), dan lain lain.
(kabre/tjok; foto ist