SURAINDONEWS.COM, Jakarta – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak dan remaja. Dengan segala manfaatnya, media sosial juga membawa berbagai tantangan, terutama dalam dunia pendidikan dan kesehatan mental anak. Oleh karena itu, orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi serta membimbing anak-anak agar mereka dapat menggunakan media sosial dengan bijak.
Dampak Negatif Media Sosial terhadap Anak
Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menegaskan bahwa anak-anak tidak boleh dibiarkan berinteraksi dengan media sosial tanpa bimbingan orang tua. Salah satu dampak negatif yang ia soroti adalah gangguan kesehatan mental akibat interaksi di media sosial. Banyak anak mengalami kecemasan dan kesedihan hanya karena masalah sepele, seperti tidak di-follow kembali oleh teman mereka atau mengalami unfollow secara tiba-tiba. Jika dibiarkan tanpa pendampingan, anak-anak bisa tumbuh menjadi individu yang kurang tangguh dalam menghadapi realitas kehidupan.
“Orang tua tidak bisa melepas anak begitu saja berinteraksi dengan media sosial. Jika tidak diawasi, anak-anak kita akan menjadi tidak cukup tangguh dalam menghadapi dunia nyata,” ujar Ledia.
Selain itu, ancaman lain yang datang dari media sosial adalah perundungan daring (cyberbullying). Berdasarkan pengalaman Andreas, seorang pengamat pendidikan dan pengelola Rumah Literasi 45, banyak anak putus sekolah akibat trauma dari perundungan di media sosial. Beberapa di antaranya bahkan enggan keluar rumah akibat tekanan psikologis yang dialami.
“Ada anak yang hingga kini tidak mau keluar rumah akibat trauma perundungan di media sosial. Bahkan, orang tua mereka pun ikut mengalami dampak psikologis yang serius,” ungkap Andreas.
Media Sosial dan Tantangan Dunia Pendidikan
Selain masalah kesehatan mental, media sosial juga memberikan tantangan besar dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah rendahnya tingkat literasi digital di Indonesia. Berdasarkan data ASEAN, tingkat literasi di Indonesia hanya 62%, lebih rendah dibandingkan rata-rata ASEAN yang mencapai 70%. Penyebaran berita hoaks, judi online, dan konten negatif semakin memperburuk kondisi ini.
“Saat seseorang menerima pesan di grup WhatsApp, tanpa verifikasi, ia langsung menyebarkannya ke banyak orang. Hal ini sangat berbahaya, terutama jika menyangkut isu sensitif seperti agama,” kata Andreas.
Solusi dari tantangan ini tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga masyarakat dan lembaga pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi harus aktif dalam mengajarkan literasi digital kepada siswa serta melibatkan mereka dalam upaya edukasi di masyarakat.
Pada tahun 2023, Andreas bekerja sama dengan City Watch, sebuah lembaga independen pengawasan informasi dan komunikasi, untuk mengadakan pelatihan literasi digital bagi 800 peserta didik di Jakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa edukasi literasi digital sangat dibutuhkan, tetapi masih minim dukungan dari berbagai pihak.
Ancaman Kejahatan Digital terhadap Anak
Selain perundungan daring, media sosial juga menjadi sarana bagi berbagai kejahatan digital seperti eksploitasi anak, penipuan, prostitusi online, dan paparan konten berbahaya. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan di ranah digital menempati posisi keempat pada tahun 2023-2024 setelah kekerasan seksual dan fisik.
“Perlindungan anak di ranah digital harus segera memiliki payung hukum agar mereka tidak menjadi korban kejahatan online,” ujar Komisioner KPAI.
Saat ini, pemerintah sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Perlindungan Anak di Ranah Digital. Regulasi ini mencakup batas usia penggunaan media sosial, tanggung jawab platform digital, dan sistem verifikasi identitas yang lebih ketat.
Darurat Kekerasan Seksual Online terhadap Anak
Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan kasus kekerasan seksual daring terhadap anak terbanyak di dunia. Pelaku kejahatan ini sering memanfaatkan media sosial untuk memanipulasi anak-anak yang kurang perhatian dari orang tua. Modus yang digunakan bervariasi, mulai dari grooming online, live streaming seks, hingga sextortion (pemerasan seksual).
“Perkosaan kini bisa terjadi tanpa pertemuan fisik. Kekerasan seksual di dunia maya nyata adanya dan dampaknya sangat serius,” ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Kasus cyberbullying yang berujung pada bunuh diri juga semakin meningkat. Perundungan di dunia maya lebih kejam karena dilakukan oleh orang-orang yang tidak dikenal dan dapat diakses oleh banyak orang dalam waktu singkat.
Peran Orang Tua, Guru, dan Negara dalam Perlindungan Anak
Melihat besarnya ancaman dari media sosial, semua pihak harus bekerja sama untuk melindungi anak-anak dari dampak negatifnya. Berikut beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:
1. Orang Tua: Harus lebih teredukasi tentang penggunaan media sosial dan membangun komunikasi yang terbuka dengan anak.
2. Guru dan Sekolah: Memberikan literasi digital kepada siswa serta mengawasi aktivitas daring mereka.
3. Pemerintah: Menerapkan regulasi ketat untuk membatasi akses media sosial bagi anak-anak di bawah umur, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju.
“Anak-anak kita memegang ‘pisau tajam’ bernama internet. Jika kita lengah, mereka bisa terluka. Mari bersama melindungi mereka sebelum terlambat,” tutup Retno Listyarti.
Kesimpulan
Media sosial memiliki manfaat besar dalam dunia pendidikan dan kehidupan anak-anak. Namun, tanpa pengawasan yang tepat, media sosial juga dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental, pendidikan, dan keselamatan anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus lebih aktif dalam membimbing anak-anak dalam penggunaan media sosial yang sehat. Dengan edukasi literasi digital, regulasi yang ketat, dan keterlibatan semua pihak, diharapkan anak-anak Indonesia dapat tumbuh dengan lebih bijak dan tangguh menghadapi era digital.
(Anton)