SUARADEPOKNEWS.COM, Belgia-Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menggelar Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia bertajuk “LALU, KINI (Budaya Bendawi/Material Culture)” di Brussels dan Antwerp, Belgia. Dan instalasi Gunungan dan Balekambang, menjadi bentuk partisipasi Galeri Nasional Indonesia dalam rangka Europalia Arts Festival Indonesia 2017, yang berlangsung Oktober 2017 hingga Januari 2018.
Europalia Arts Festival merupakan festival seni budaya dua tahunan terbesar dan bergengsi di Eropa yang diselenggarakan di beberapa kota di Belgia dan sekitarnya sejak 1969. Ajang ini diinisiasi oleh Kerajaan Belgia dengan memilih secara selektif negara tamu yang menjadi tema festival. Untuk 2017 sekaligus menjadi penyelenggaraan Europalia ke-26, Indonesia mendapat kehormatan sebagai negara tamu (Guest Country) pertama dari Asia Tenggara juga yang keempat dari Asia setelah sebelumnya China, Jepang, dan India.
Selama tiga bulan sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018 tersebut, Indonesia menampilkan teater, tari, musik, sastra literasi, film, seni rupa, dan gastronomi. Galeri Nasional Indonesia mengambil bagian dalam menyuguhkan konten seni rupa tersebut.
Sebelum Pameran “LALU, KINI (Budaya Bendawi/Material Culture)”, Galeri Nasional Indonesia telah menggelar program serupa berupa Pameran Keliling di beberapa negara, dengan tema dan konten berbeda. Pameran Keliling yang menampilkan karya-karya koleksi Galeri Nasional Indonesia sekaligus merupakan koleksi negara Indonesia telah digelar di Kuala Lumpur (Malaysia), Bangkok (Thailand), Manila (Filipina), (Hanoi) Viet Nam, Yangon (Myanmar), Tlemcen (Al Jazair), Washington, D.C. (Amerika Serikat), Phnom Penh (Kamboja), Canberra (Australia), dan Frankfurter Kunstverein (Jerman) dalam rangka Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 saat Indonesia menjadi guest of honour.
Di Belgia kali ini, Galeri Nasional Indonesia mengusung karya dua perupa tanah air, Faisal Habibi (Bandung) dan Eko Prawoto (Yogyakarta), yang dikuratori Asikin Hasan dan Rizki A. Zaelani.
Karya Faisal dan Eko tidak hanya merepresentasikan pengetahuan seni rupa kontemporer yang semakin berkembang di Indonesia, tapi juga pemahaman dan penggunaan material industri yang makin meluas dari waktu ke waktu. Budaya material tradisional beserta keterampilannya, tidak lenyap dengan datangnya yang modern. Ia tumbuh sebagai sebuah kearifan, mendekatkan keperluan hidup sehari-hari dengan lingkungan alam sekitarnya. Prinsip keseimbangan antara manusia dan semesta, antara yang mikrokosmos dan makrokosmos, terkait-kelindan sebagai dasar keyakinan hidup. Karya-karya ini memperlihatkan simbol, dan narasi, yang satu sama lain mengacu pada ketradisian, kemodernan dan kekinian yang hidup di Indonesia.
Faisal Habibi (Bandung) melalui karyanya “Gunungan”, dipamerkan 17 September 2017 – 21 Januari 2018 di Festival Centre Gedung Dynasty, Brussels. Menampilkan pola-pola geometris, berwarna-warni, dan menjulang. Sekilas mendekati bentuk logo pada Europalia 2017 yang kurang lebih menggambarkan atau menyimbolkan gugusan gunung-gemunung, pulau-pulau, spiritualitas, dan lain sebagainya. Karya ini menggunakan material sehari-hari yaitu kayu, besi, akrilik, dan lain sebagainya. Material industri yang umum kita kenali pada karya-karya bebas Faisal Habibi ini merupakan gambaran perkembangan cepat budaya material dalam kehidupan dunia modern.
Sementara, Eko Prawoto (Yogyakarta) menampilkan karya “Bale Kambang”, yang dipamerkan selama 28 Oktober 2017 – 21 Januari 2018 di Bonapartedok dan Museum aan de Stroom (MAS), Antwerp. Sebagai arsitek dan perupa menjadikan Eko mencoba mengembangkan karya-karya dengan material bambu.
Bale Kambang adalah karya di ruang terbuka, semacam tempat peristirahatan dalam tradisi kerajaan di masa lalu. Bambu adalah material alam yang khususnya dipakai oleh masyarakat di Asia untuk pelbagai keperluan hidup, mulai dari peralatan dapur, rumah, kesenian, dan lain sebagainya. Di masa kini, di saat perhatian mulai terpusat pada lingkungan dan keberlangsungan bumi yang lebih baik, bambu mulai dipikirkan kembali sebagai material alternatif di dunia modern. Dalam pameran ini Eko mengembangkan karya interaktif, di mana masyarakat Eropa yang jauh dari material bambu dapat merasakan dan melihat dari dekat, serta bermain dengan material bambu yang ramah lingkungan.
Pemilihan material dalam dua instalasi pada pameran Europalia ini, tidak menunjukkan sebuah garis lurus perkembangan budaya material itu sendiri, melainkan sebuah kumparan yang menegaskan pilihan perupa masing-masing. Dalam makna lain, seorang perupa yang menggunakan material tradisional dari alam tak berarti yang bersangkutan terpaut mati pada ketradisian dan menolak ke-modern-an. Pun sebaliknya sang perupa yang menggunakan material industri-modern tak berarti yang bersangkutan menolak pandangan dan simbolisasi dari ketradisian.
Kedua instalasi yang ditampilkan dalam pameran Europalia-Indonesia ini dibangun dengan pendekatan teknik arsitektur. Faisal dan Eko merancang karya-karya dalam ukuran besar ini dengan akurat, untuk mendapatkan ketepatan antara yang dibayangkan dan wujud jadi di lapangan.
Melalui pameran seni rupa Europalia Arts Festival Indonesia 2017, Belgia, Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana berharap dapat meningkatkan networking dan diplomasi kultural yang mampu mempererat hubungan dan kerjasama yang baik antarmasyarakat, antarinstitusi, dan antarnegara, khususnya Indonesia dan Belgia. Selain diharapkan dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi perupa kontemporer Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya di kancah internasional, sekaligus menarik publik Belgia maupun mancanegara yang tengah berkunjung atau berwisata di Belgia, untuk mengapresiasi karya seni rupa Indonesia.
(tjo; foto ist