SUARAINDONEWS.COM, Bandung — Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan nasional, khususnya dalam perhitungan dan distribusi penerimaan pajak. Menurutnya, sistem pajak yang masih bersifat sentralistik saat ini menciptakan ketimpangan fiskal yang besar antar daerah.
Dedi menilai ketimpangan paling terlihat antara Jawa Barat sebagai daerah industri dan DKI Jakarta sebagai lokasi kantor pusat perusahaan-perusahaan besar. Meski aktivitas produksi dan dampak lingkungannya banyak terjadi di Jawa Barat, penerimaan pajak justru lebih banyak mengalir ke Jakarta.
Ia menjelaskan, sentralisasi pajak membuat daerah penghasil menanggung berbagai beban, mulai dari kerusakan lingkungan, banjir, hingga kerusakan infrastruktur jalan akibat aktivitas industri. Sementara itu, manfaat fiskal lebih besar justru diterima wilayah tempat kantor pusat perusahaan berdiri.
“Pabrik di Jawa Barat itu banyak sekali. Kawasan industrinya terhampar di mana-mana. Banjirnya kami yang terima, pencemaran lingkungannya kami yang terima, jalan rusak karena kendaraan berat juga kami yang perbaiki,” ujar Dedi saat ditemui di Bandung, Rabu (10/12).
Ia menegaskan, meski Jawa Barat menjadi rumah bagi ribuan industri, sebagian besar perusahaan tersebut memiliki kantor pusat di Jakarta. Akibatnya, penerimaan bagi hasil pajak Jawa Barat hanya sekitar Rp140 triliun, jauh tertinggal dibandingkan DKI Jakarta yang mampu mengumpulkan lebih dari Rp1.000 triliun.
Menurut Dedi, kondisi tersebut mencerminkan ketidakadilan fiskal yang perlu segera dibenahi. Ia menekankan bahwa pembangunan nasional seharusnya didukung oleh sistem perpajakan yang adil dan tidak membebani daerah penghasil secara berlebihan.
Karena itu, Dedi mendorong reformasi dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ia mengusulkan agar pajak tidak lagi dihitung berdasarkan lokasi kantor pusat perusahaan, melainkan berdasarkan lokasi usaha atau aktivitas produksi yang sebenarnya.
“Keinginannya sederhana. Pajak dihitung di mana tempat usahanya berada, bukan di mana kantornya berada. Karena yang menanggung masalah itu daerah tempat sawitnya luas, pertambangannya luas, industrinya luas,” jelasnya.
Ia menambahkan, wilayah usaha riil—mulai dari perkebunan, pertambangan, hingga kawasan industri—adalah daerah yang paling merasakan dampak ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, wilayah tersebut semestinya menjadi dasar utama dalam perhitungan dan pembagian pajak.
Tak hanya itu, Dedi juga mengusulkan agar bagi hasil pajak dialirkan langsung hingga ke tingkat desa. Menurutnya, langkah ini dapat memperkuat kemandirian fiskal desa sekaligus mempercepat pembangunan di tingkat paling dasar.
“Di situ ada desa. Bisa saja bagi hasil desa, misalnya tiga persen. Dengan itu, pembangunan desa dalam lima tahun bisa selesai,” ujarnya.
Dedi optimistis, jika pemerintah menerapkan sistem pembagian pajak yang lebih adil dan proporsional, daerah akan memiliki kecukupan fiskal untuk membiayai pembangunan tanpa ketergantungan berlebihan pada anggaran pusat. Dengan demikian, pemerintah pusat pun tidak lagi perlu menanggung beban besar melalui alokasi dana desa untuk kebutuhan pembangunan dasar.
(Anton)



















































