SUARAINDONEWS.COM, Berlin — Kota yang dulu disebut sebagai “surga techno” dunia kini sedang kehilangan dentumannya. Lampu strobo mulai padam satu per satu. Musik yang dulu bikin ribuan orang bergoyang semalam suntuk kini makin jarang terdengar. Ya, Berlin — ibu kota party dunia — sedang mengalami krisis eksistensial.
Fenomena ini bahkan punya sebutan sendiri: “club death” alias kematian klub malam.
Ketika Surga Techno Mulai Sunyi
Selama puluhan tahun, Berlin dikenal sebagai kiblat dunia malam. Dari Berghain yang legendaris sampai Watergate di pinggir sungai Spree — semuanya jadi destinasi wajib buat para pencinta musik elektronik.
Tapi sekarang? Banyak di antaranya kewalahan menghadapi kenyataan baru.
Harga properti melambung, inflasi menggila, dan perilaku pengunjung berubah drastis.
Asosiasi Clubcommission — lembaga yang menaungi klub-klub Berlin — bahkan mengungkap bahwa 46% klub anggotanya terancam tutup dalam waktu satu tahun terakhir.
“Sejak 2024 kami benar-benar merasakan penurunan pendapatan. Klub kami kekurangan dana sekitar 50.000 euro per bulan,” kata Katja Jaeger, Direktur Klub SchwuZ, dikutip dari AFP.
SchwuZ, salah satu ikon dunia malam Berlin, akhirnya resmi mengajukan kebangkrutan pada Juli 2025.
Pengunjung Makin Irit, Klub Makin Sepi
Jaeger bilang, perilaku pengunjung berubah total.
“Orang-orang tidak lagi pesan tiga atau empat minuman. Sekarang, mereka mungkin hanya beli satu,” ujarnya.
Akibatnya, klub menaikkan harga tiket dan minuman — tapi itu justru bikin banyak anak muda mundur.
Muncul lingkaran setan: harga naik → pengunjung turun → harga naik lagi → klub makin sepi.
Bahkan, Watergate, salah satu klub paling terkenal di Berlin, resmi tutup tahun lalu.
“Budaya Klub di Berlin Akan Hancur Berkeping-Keping”
Bagi warga lokal dan turis, perubahan ini terasa menyakitkan.
Oscar Lister, turis asal Inggris, mengaku kunjungannya ke klub Renate mungkin akan jadi yang terakhir.
Sementara warga Berlin, Maike Schoeneberg, berkata lirih,
“Semua klub yang saya kenal saat remaja sudah tutup. Budaya klub di Berlin sepertinya akan hancur berkeping-keping.”
Bagi generasi yang tumbuh dengan musik techno, ini bukan cuma kehilangan tempat dugem — tapi kehilangan bagian dari identitas kota mereka.
Tapi Tidak Semua Harapan Padam
Meski banyak klub gulung tikar, masih ada secercah cahaya di tengah kegelapan.
Direktur Clubcommission, Katharin Ahrend, menegaskan, “Situasinya tidak sepenuhnya suram. Proyek-proyek baru bermunculan, tempat-tempat baru dibuka — meski jumlahnya belum banyak.”
Salah satu yang mencuri perhatian adalah Maaya, pusat kebudayaan baru yang memadukan musik, seni, dan kuliner terinspirasi dari Afrika dan diaspora-nya.
Dengan konsep music nights, kolam renang, dan acara budaya terbuka, Maaya sukses jadi simbol kebangkitan baru dunia malam Berlin.
“Sejak diluncurkan tahun lalu, Maaya mendapat sambutan luar biasa,” kata salah satu pendirinya, Aziz Sarr.
Dari Dentuman Techno ke Harapan Baru
Krisis yang melanda klub-klub Berlin ini jadi cerminan perubahan besar dalam gaya hidup generasi muda Eropa — yang kini lebih hemat, lebih sadar lingkungan, dan mencari hiburan yang “bermakna”.
Namun bagi banyak orang, Berlin tanpa kehidupan malam adalah Berlin yang kehilangan jiwanya.
Dan di tengah sunyinya lantai dansa, satu pertanyaan pun menggema:
Apakah “ibu kota party dunia” ini bisa kembali menemukan ritmenya?
(Anton)




















































