SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Koordinator Presidium FORHATI (Forum Alumni HMI-Wati) Hanifah Husein menegaskan bukan hanya kaum lelaki yang berjuang dalam literasi. Menurutnya perpustakaan menjadi simbol tidak hanya lelaki tetapi juga banyak peninggalan perempuan di bidang literasi.
“Mereka (perempuan) biasa menulis, mencatat semua perjuangannya, itu dilakukan oleh Ibu Kartini. Tetapi di sisi lain kita tidak boleh lupa bahwa Malahayati adalah panglima perang yang pertama di dunia perempuan, “ kata Hanifah Husein dalam acara “Malam Budaya Baca Puisi Perempuan Untuk Indonesia” Majelis Nasional (MN) Forhati dan sosialisasi empat pilar MPR di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta, Minggu (29/4/2018) malam.
Malam Budaya Baca Puisi Perempuan Untuk Indonesia`, dihadiri istri Wakil Presiden, Mufidah Jusuf Kalla, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno, Koordinator Presidium MN Korp Alumni HMI Siti Zuhro dan Budayawan Taufiq Ismail.
Hanifah berpendapat pihaknya memadukan acara peringatan Hari Kartini 21 April dan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, dengan menggelar baca puisi sebagai bentuk peringatan atas perjuangan para pejuang-pejuang perempuan. “Mereka adalah pejuang-pejuang hebat. Kartini meninggalkan literasi, Malahayati meninggalkan heroiknya, pejuang perempuan lainnya memimpin bahkan melawan penjajah, “ katanya menyebut sejumlah pejuang perempuan diantaranya Malahayati adalah seorang perempuan yang berasal dari Kesultanan Aceh, Cut Nyak Dhien, Dewi Sartika, Cristina Martha Tiahahu.
Sedangkan penyatuannya dengan Hardiknas, Forhati ingin mengingatkan kembali, perempuan adalah madrasatul Ula. “Jadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anak dan anak bangsa itu adalah perempuan, adalah ibu. Itulah keinginan kami memberi pesan di dalam acara ini, “ katanya.
Sementara Zulkifli Hasan pun tak luput ikut membaca bait-bait puisi Berjuta Mereka, Berjuta Ibunda Kita, karya Taufiq Ismail, Cinta Ibunda kita adalah cinta yang semesta, cinta kepada keluarga, pada kampung halaman dan tanah airnya.
“Ibu kalau saya memanggilnya dulu di kampung dengan sebutan emak
. Emak saya mengajari saya sejak saya kecil untuk berbagai. Bukan hanya omongan saja tapi benar-benar menjadi keseharian emak saya antara lain, beliau selalu kalau masak pasti dibagi dua masakannya,” kata Zulhas.(Bams/EK)