SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengkritisi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menyasar industri tembakau. Kritik ini disampaikan dalam Diskusi Forum Legislasi yang melibatkan sejumlah tokoh, termasuk Roy Mandey (Ketua Umum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia/Aprindo), Benny Wahyudi (Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia/Gaprindo), Firman Subagyo (Anggota Badan Legislasi DPR RI), dan Rahmad Handoyo (Anggota Komisi IX DPR RI).
Firman Subagyo menilai bahwa aturan ketat dalam RPMK berpotensi menciptakan ekosistem yang tidak kondusif bagi industri tembakau. Dia berpendapat bahwa regulasi tersebut berisiko mematikan industri, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum stabil. Subagyo menekankan pentingnya melibatkan pemangku kepentingan dalam penyusunan RPMK agar aturan tersebut tidak diskriminatif dan sesuai dengan prinsip keadilan serta transparansi.
Salah satu pasal yang mendapat sorotan adalah mengenai desain kemasan polos, pembatasan iklan dan promosi, serta sensor produk tembakau di berbagai platform. Subagyo mengkritik bahwa ketentuan-ketentuan tersebut dapat merugikan industri dan menilai bahwa pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak terhadap hak asasi manusia, tenaga kerja, dan pendapatan negara.
Daniel Johan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, mengungkapkan bahwa regulasi tersebut belum melalui kajian mendalam dan tidak melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk industri, akademisi, dan serikat pekerja. Johan menegaskan pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang luas, mengingat Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan penyumbang utama pendapatan negara dan berdampak pada banyak pihak.
Rahmad Handoyo, Anggota Komisi IX DPR RI, menekankan perlunya keseimbangan antara upaya kesehatan, kepentingan industri, dan hak konsumen. Menurutnya, kebijakan kesehatan harus dipastikan tidak bertentangan dengan kepentingan ekonomi dan hak konsumen.
Benny Wahyudi menyoroti ketidaksesuaian antara PP Nomor 28 Tahun 2024 dan RPMK, terutama terkait pasal tentang standardisasi kemasan. Wahyudi menyatakan keberatan karena pasal tersebut tidak diatur dalam PP dan bisa berdampak negatif terhadap ekonomi dan investasi.
Roy Mandey juga menegaskan bahwa regulasi kesehatan yang ketat dapat mengintervensi sektor ekonomi dan hiburan secara berlebihan. Mandey menekankan perlunya analisis menyeluruh agar regulasi yang diterapkan tidak menimbulkan masalah baru dan dapat memberikan manfaat bagi semua pemangku kepentingan.
Seluruh pihak yang hadir sepakat bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 dan RPMK harus ditinjau kembali agar tidak merugikan industri, tenaga kerja, dan masyarakat luas.
(ANTON)