SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Pakar neonatologi yang tergabung dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Setya Dewi Lusyati, Sp. A, Subsp. Neo, Ph.D menjelaskan tahapan pemeriksaan kesehatan pada bayi baru lahir sebagai deteksi adanya gangguan sedari dini sekaligus memastikan kondisinya.
“Agar apabila diketahui adanya gangguan sedari dini penanganan yang tepat dapat dilakukan sebelum masalah tersebut menimbulkan efek negatif,” kata dia melalui keterangan tertulis, Rabu (19/7).
Pemeriksaan pertama yang dilakukan yakni pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan jenis kelamin, pengukuran berat dan panjang badan, serta ada-tidaknya kelainan bawaan yang terlihat secara kasat mata ini idealnya dilakukan di hadapan orangtua.
Selanjutnya, saat bayi memasuki usia 48 jam, beberapa pemeriksaan lain pun perlu dilakukan, salah satunya pemeriksaan fungsi tiroid (Thyroid Stimulating Hormone/TSH) dengan pengambilan darah.
Setya mengatakan kekurangan tiroid dapat mengganggu pertumbuhan fisik dan kemampuan mental secara perlahan. Oleh karena itu, jika diketahui ada gangguan dari pemeriksaan ini, maka pengobatan dapat dilakukan sebelum bayi berusia satu bulan.
Selanjutnya, pemeriksaan fungsi enzim Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD). Pada masyarakat Asia, khususnya Asia Timur, risiko kekurangan enzim ini lebih tinggi yang menyebabkan sel darah merah lebih cepat pecah dibanding pembentukannya sehingga menyebabkan anemia dan mudah kuning.
Pemeriksaan lainnya yakni ada atau tidaknya kelainan jantung bawaan biru, yang dilakukan dengan memeriksa saturasi oksigen pada jari atau tangan kanan.
“Jika saturasi di bawah 90 persen, diperlukan pemeriksaan lanjutan berupa echocardiography (USG jantung) untuk memastikan ada-tidaknya kelainan pada jantung,” kata Setya.
Pemeriksaan tambahan
Menurut Setya yang berpraktik di RS Pondok Indah – Puri Indah itu, bayi yang terlahir dari orangtua dengan riwayat kelainan bawaan memerlukan pemeriksaan tambahan.
“Pada bayi seperti ini, jika ada kelainan biasanya terlihat saat pemeriksaan USG, meski ada pula potensi tidak terlihat. Jika kelainan bawaan memerlukan pemeriksaan genetik atau kromosom, orang tua akan dimintai persetujuan untuk dilakukannya pemeriksaan tersebut,” jelas dia.
Sementara untuk bayi prematur, diperlukan pemeriksaan tambahan yang akan diulang secara berkala, seperti rontgen untuk melihat kemampuan paru, USG kepala untuk melihat ada-tidaknya perdarahan otak dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) jika ditemukan kelainan pada otak hasil dari USG kepala.
Pemeriksaan lainnya yakni USG jantung, pengecekan fungsi mata untuk melihat vaskularisasi (suplai oksigen dan nutrisi) terlebih pada bayi dengan riwayat pernah mendapat bantuan oksigen serta pemeriksaan pendengaran yang dilakukan sebelum bayi keluar dari rumah sakit.
Selain itu, dilakukan pula evaluasi tumbuh kembang hingga usia dua tahun serta pemeriksaan lain sesuai dengan kondisi klinis bayi.
Setya menambahkan, pada bayi baru lahir, tidak semua gangguan perlu langsung mendapat tindakan atau bahkan tidak memerlukan tindakan. Kelainan jantung misalnya, yang dapat membaik dengan sendirinya pada usia satu tahun.
“Kalau pun perkembangan ke arah memburuk, tindakan dilakukan saat berat bayi mencapai tiga kilogram. Begitu pula dengan kelainan testis (pemantauan hingga usia dua hingga empat bulan) dan hernia (lebih dari usia empat bulan),” demikian kata Setya.