SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Tidak boleh satu lembaga mencampuri urusan lembaga lain. Apalagi berani intervensi pemerintah. Dan Presiden pemegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Pernyataan jubir KPK bisa dinyatakan ‘Liar dan Sok Kuasa’. Mosok Eselon II mau atur atur Presiden dan MenKumHAM. Bisa kacau negara. Jelas ini mempertontonkan ketidak patuhan dan mempermalukan pimpinan sehingga sepatutnya ‘Copot Jubir KPK RI ini …!’, demikian ditegaskan Direktur LSM Jaringan Reformasi Rakyat, John K.Nahadin, saat dikonfirmasi melalui telepon selukarnya di Jakarta (2/4).
Pimpinan KPK RI yang punya wewenang mengutarakannya terkait kebijakan lembaga lain, lanjut John K.Nahadin, bukan oleh seorang pegawai KPK yang bertugas sebagai jubir dan terlalu jauh intervensi Pemerintah. Dan menafikan pernyataan pimpinan KPK secara terbuka didepan umum merupakan pelanggaran etik dan disiplin. Apalagi apa yang dilakukan Menkumham Yasonna Laoly itu sudah tepat, jelas John K.Nahadin lebih jauh.
“Pimpinan KPK RI keberadaannya dipilih melalui suatu mekanisme fit and proper test yang cukup ketat dan berat yang melibatkan masyarakat, Presiden dan DPR RI. Jadi Pimpinan KPK RI itu harus dihormati bawahannya. Copot Jubir KPK itu, harus segera diganti. Jubir seperti ini jangan dibiarkan merongrong kewibawaan KPK RI,” ungkap Direktur LSM Jarrak, John K.Nahadin.
Padahal Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, telah sepakat dengan langkah positif yang diambil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, sebagai respons yang adaptif terhadap wabah Covid-19 mengingat kapasitas Lembaga Pemasyaratan kita telah lebih dari 300 persen. Sehingga penerapan Social Distance untuk warga binaan dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan. Mereka sangat padat sehingga jaraknya tidak memenuhi syarat pencegahan penularan Covid-19, ujar Ghufron, (2/4).
Hal ini bentuk waspada terhadap penularan virus korona atau Covid-19, rambah Ghufron, namun harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sehingga diperlukan upaya untuk menekan penyebaran Covid-19. Jadi seharusnya diawali dengan adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang berperspektif epidemi. Namun juga tidak mengabaikan keadilan bagi warga binaan lainnya dan aspek tujuan pemidanaannya, paparnya.
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) mengambil langkah pencegahan virus Corona di lapas yang overkapasitas berdasarkan Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020. Dimana kebijakan tersebut sudah mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski demikian, ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa dilepaskan karena terganjal aturan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Yasonna akan mengajukan revisi PP tersebut dalam ratas bersama Presiden Jokowi. Revisi PP 99 Tahun 2012 tentu dengan kriteria ketat.
Sedangkan, Plt Jubir KPK Ali Fikri berharap tidak ada keringanan bagi napi koruptor terkait jika dilakukan revisi PP tersebut. Karena mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat, (1/4). Bahkan Ali menilai seharusnya Kementerian Hukum dan HAM terlebih dahulu menyampaikan kepada publik secara terbuka sebenarnya napi kejahatan apa yang overkapasitas di Lapas sebelum mengusulkan mengurangi napi korupsi.
Wabah Corona telah menjadi musibah nasional dan sekaligus bencana kemanusiaan di dunia. Indonesia pun berada pada keadaan Darurat sehingga manusia wajib diselamatkan, tanpa terkecuali para warga binaan di Lapas di seluruh Indonesia. Dan Juru bicara KPK telah menunjukkan arogansinya dengan pernyataannya, jadi tak ada kata lain selain segera ‘Copot Jubir KPK …!’, pungkas John K.Nahadin.
(Win/Tjo; foto ist