SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Genre sastra puisi esai sangat potensial untuk dialihwahanakan ke format karya seni lain, seperti teater, film, dan sebagainya. Hal itu dinyatakan penggagas puisi esai Denny JA.
Denny JA mengungkapkan potensi puisi esai untuk alih wahana tersebut di sela-sela Festival Puisi Esai Jakarta II, pada 13-14 Desember 2024, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.
Denny JA menjelaskan, kisah puisi esai potensial untuk diangkat ke teater atau film karena bisa mengembangkan drama fiksi dengan karakter tokoh dan plot yang dituliskan secara puitis.
Denny JA mengaku bukan cuma bicara teoretis, karena ia sudah membuktikan dengan alih wahana beberapa puisi esai karyanya ke bentuk film. Sutradara kondang Hanung Bramantyo pernah membuat lima film berdasarkan lima puisi esai Denny JA. Namun saat itu, film tersebut bukan ditujukan untuk layar lebar di bioskop.
Karena pentingnya isu ini, diadakan dialog dengan topik “Dari Puisi Esai ke Film, Teater, Lagu, Musik dan Karya Seni Lainnya” di Festival Puisi Esai Jakarta II. Narasumbernya adalah para praktisi drama dan teater, Venantius Vladimir Ivan, Isti Nugroho dan Ipit Saefidier Dimyati dengan moderator Isbedy Stiawan.
Venantius Vladimir Ivan mengatakan, ada proses yang harus dijalani jika hendak menuju teater berbasis puisi esai. Ini diawali dengan membedah maksud dan tujuan puisi esai tersebut ditulis, sehingga pencapaiannya memenuhi harapan.
Puisi esai adalah genre yang sarat dengan pesan kemanusiaan, kritik sosial, dan sebagainya. Ivan optimistis bahwa teater atau seni pertunjukan, jika menjadi alih wahana puisi esai, juga bisa menjadi penyampai pesan yang baik.
Sedangkan Ipit Saefidier Dimyati menyatakan, puisi esai pada dasarnya bisa dialihwahanakan ke format film, video, ataupun teater. Tetapi ketika melakukan alih wahana itu bisa menghilangkan atau memunculkan sesuatu yang awalnya tidak terbayangkan oleh penulis puisi esai.
Puisi itu mediumnya kata-kata, tetapi kalau teater itu mediumnya audio visual kinetik, dan tentu saja disaksikan secara langsung. “Suatu seni pertunjukan itu artinya harus kini dan di sini,” ujar Ipit.
“Peralihan dari puisi esai ke teater itu melalui proses adaptasi atau familiarisasi,” tutur Ipit. Dari puisi esai bisa dialihwahanakan menjadi monolog, dialog, story telling, dan dramatic reading.
Sedangkan Isti Nugroho pada festival puisi esai ini malah sudah mempertunjukkan hasil alih wahananya dari puisi esai ke monoplay. Pada jam yang berbeda, ada penampilan teater karya Isti Nugroho, aktivis dan seniman asal Yogyakarta tersebut.
Judulnya, “Doktrin Sinatra.” Penampilnya adalah Isti Nugroho dan Agusto Sulistio, pengarah dramatika Indra Tranggono, dan penata musik Agusto Sulistio.
Temanya berkaitan dengan gerakan perubahan Glasnost (keterbukaan) dan Perestroika (restrukturisasi) di Uni Soviet masa Gorbachev. Masa krusial menjelang runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur.
Format pertunjukan ini adalah satu puisi esai karya Isti Nugroho dibaca oleh tiga orang. Karena puisi esai ini merupakan perpaduan antara fakta dan fiksi, maka ada alur ceritanya. Penampilan mereka diiringi musik, serta dilengkapi kostum dan properti.
(ANTON)