SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) mengambil langkah pencegahan virus Corona di lapas yang overkapasitas. Setidaknya akan ada 35 ribu narapidana yang akan dibebaskan berdasarkan Permenkum HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkum HAM Nomor 19.PK.01.04 Tahun 2020. Kebijakan ini disebut Yasonna sudah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Meski demikian, ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa dilepaskan karena terganjal aturan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Yasonna akan mengajukan revisi PP tersebut dalam ratas bersama Presiden Jokowi. Revisi PP 99 Tahun 2012 tentu dengan kriteria ketat.
Pertama, narapidana kasus narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 per hari ini datanya. Mungkin akan bertambah per hari,” ungkap Menkum HAM Yasonna Laoly dalam rapat bersama Komisi III melalui teleconference, Rabu (1/3).
Kedua, Napi Korupsi usia 60 tahun ke atas yang telah menjalani 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang. Napi Tipidsus dengan sakit kronis yang dinyatakan rumah sakit pemerintah yang telah menjalani dua pertiga masa pidana 1.457 orang. Napi asing ada 53 orang.
Sementara Plt Jubir KPK Ali Fikri berharap tidak ada keringanan bagi napi koruptor terkait jika dilakukan revisi PP tersebut. Karena mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat, (1/4). Bahkan Ali menilai seharusnya Kementerian Hukum dan HAM terlebih dahulu menyampaikan kepada publik secara terbuka sebenarnya napi kejahatan apa yang overkapasitas di Lapas sebelum mengusulkan mengurangi napi korupsi.
Sebenarnya sudah ada 14 aksi rekomendasi KPK, lanjut Ali yang diimplementasikan oleh Ditjen PAS terkait masalah overkapasitas di Lapas. Jika 14 aksi rekomendasi KPK itu dijalankan semua maka masalah overkapasitas ini bisa teratasi. Dan dari 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas sejak 2019, baru 1 rencana aksi yang statusnya closed (selesai). Seperti diketahui, berdasarkan kajian KPK terkait Lapas yang dilakukan sejak 2019, lebih dari separuh penghuni lapas adalah napi narkoba. KPK dalam menekan overstay mendorong revisi PP 99 tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN (rehab), tukasnya.
Intervensi Pemerintah
Disisi lain, Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H., dalam pernyataannya mengemukakan bahwa jubir KPK tersebut telah terlalu jauh mengintervensi Pemerintah. Kita mengenal Checks and Balances System, jadi tidak boleh satu lembaga mencampuri urusan lembaga lain. Apabila dia tidak setuju maka sebaiknya bicarakan secara internal. Ini sama juga mempertontonkan ketidak patuhan dan mempermalukan pimpinan sehingga jubir ini tidak bisa dipertahankan kedudukannya.
“Jubir hanya menyampaikan kebijakan pimpinan bukan bikin aturan sendiri. Apalagi berani intervensi pemerintah. Secara struktur ketatanegaraan sangat tidak tepat. Masak dia sebagai Eselon II mau mengatur-atur Presiden dan Menterinya. Bisa kacau negara jika si Jubir ini dibiarkan. Segera harus diganti. Jubir itu adalah pegawai,” tegas mantan advokat dan politikus yang pernah menjabat sebagai Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2013–2017 ini.
Sedangkan, Erwin Saeputra, Pemerhati Kebijakan Publik, menambahkan bahwa konstitusi menegaskan Presiden adalah Pemegang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Gaya seorang Jubir KPK ini bisa merusak nama baik lembaga dan Pimpinan KPK. Pernyataannya bisa dinyatakan “Liar” dan sarat arogansi, jadi sangat disesalkan.
Apalagi dalam suasana duka dunia dan pemerintah yang telah menyatakan “Wabah Corona” merupakan musibah nasional dan bencana kemanusiaan sehingga kini berada pada Kondisi Darurat. Maka wajib diselamatkan sebab mereka yang rentan terpapar Covid19 di Lapas fakta yang tidak terbantahkan. Semoga dipahami juru bicara KPK ini. Apalagi tak sedikit perkara korupsi saat ini yang tidak ada hubungan dengan keuangan negara, bahkan tidak ada hubungan sama sekali dengan uang apapun, namun tetap dinyatakan sebagai Koruptor, tutup Erwin Saeputra saat ditemui di Bandung (2/4).
(tjo; foto ist