SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketika debu perang di Gaza belum juga reda, langit Timur Tengah kembali memanas. Kali ini, bayangan perang baru muncul di utara — di perbatasan Lebanon, tempat di mana Israel dan Hizbullah kembali saling mengancam dengan nada yang kian mematikan.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyampaikan pesan yang membuat dunia menahan napas: negaranya siap memperluas operasi militer ke Lebanon jika Hizbullah tak menghentikan serangan lintas batas.
“Hizbullah bermain dengan api, dan presiden Lebanon sedang mengulur waktu,” tegas Katz, dikutip dari The Guardian, Senin (3/11/2025).
“Kami tidak akan membiarkan ancaman apapun terhadap warga kami di utara.”
Kata-kata itu seperti bara yang dilemparkan ke tong mesiu Timur Tengah — wilayah yang sudah terlalu sering terbakar oleh dendam dan darah.
Empat Nyawa Hilang, Serangan Kembali Membuka Luka Lama
Beberapa jam setelah pernyataan Katz, ledakan mengguncang kota Kfar Reman, Lebanon selatan.
Serangan udara Israel menewaskan empat anggota pasukan elit Hizbullah, Radwan Force, termasuk pejabat logistik yang disebut berperan penting dalam mengatur pasokan senjata dari Iran.
Nama mereka — Jawad Jaber, Hadi Hamid, Abdullah Kahil, dan Muhammad Kahil — kini hanya tinggal dalam daftar korban.
Namun, bagi keluarga mereka, bagi rakyat Lebanon, setiap nama itu adalah cerita yang berhenti di tengah jalan, seperti ribuan kisah lain yang hilang dalam konflik tak berujung.
Setelah Gaza, Kini Lebanon di Ujung Ancaman
Israel dan Hizbullah sudah lama terikat dalam lingkaran kebencian.
Setelah pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah tewas dalam serangan udara pada 2024, kelompok itu memang terpukul, tapi tak tumbang.
Kini, Tel Aviv menuduh Beirut gagal menegakkan perjanjian gencatan senjata — yang seharusnya melarang kelompok bersenjata beroperasi di Lebanon selatan.
Namun Hizbullah menolak dilucuti. Mereka menyebut pelucutan hanya berlaku di wilayah tertentu, bukan seluruh negara.
Di tengah tekanan Amerika Serikat dan Arab Saudi, pemerintah Lebanon berdiri di persimpangan yang rumit: antara menegakkan janji atau memicu perang yang lebih besar.
Timur Tengah di Ujung Pisau
Bagi warga sipil di Lebanon selatan, perang bukan lagi berita — melainkan rutinitas yang menakutkan.
Anak-anak tumbuh dengan suara jet tempur di langit, sementara para orang tua menatap perbatasan dengan cemas, tahu bahwa setiap malam bisa menjadi malam terakhir.
Analis politik menilai, ancaman Israel kali ini bukan sekadar gertakan.
“Setelah Gaza, Israel butuh ‘musuh berikutnya’ untuk mengukuhkan posisi politik dan militernya,” ujar seorang pengamat Timur Tengah kepada Al Jazeera.
“Masalahnya, setiap langkah ke depan berarti lebih banyak korban yang jatuh.”
Aroma Perang Besar Kembali Tercium
Dunia kini kembali menatap ke utara, ke Lebanon.
Negeri kecil yang dulu dikenal dengan sebutan Paris of the Middle East, kini kembali terancam menjadi puing-puing sejarah.
Jika konflik ini benar-benar pecah, tak hanya Lebanon yang berdarah — seluruh kawasan bisa ikut terbakar.
Iran, Suriah, bahkan Amerika Serikat bisa terseret dalam arus besar yang tak terkendali.
Dan di tengah semua ini, dunia kembali diingatkan:
Setiap kali satu bom dijatuhkan, bukan hanya tanah yang retak — tapi juga rasa kemanusiaan yang semakin hancur.
(Anton)




















































