SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia kelima periode 2014-2019 Rudiantara, mengatakan Indonesia menjadi target serangan siber nomor empat di dunia setelah Mongolia, Nepal dan Georgia. Sedangkan pengguna internet di Indonesia hampir sama besarnya dengan pengguna telepon genggam, yakni sekitar 180 juta orang.
“Kementerian Kominfo seringkali harus melakukan klarifikasi kepada publik atas serangan siber karena Indonesia kerap menjadi sasaran serangan siber, ” ujar Rudiantara dalam diskusi Gelora Talk bertema ‘Keamanan Nasional di Era Digital’ di Gelora Media Center, Patra Kuningan, Jakarta, Sabtu (29/5/2021).
“Sampai jam hari ini sudah ada 8 juta attack di dunia, Jadi setiap detik ada malware, bukan hacking, bukan phising. Rekor tertinggi dunia mencapai 300 juta serangan dalam sehari pada Maret 2019,” kata Direktur di PT XL Axiata Tbk, 2005 tersebut.
Malware adalah perangkat lunak yang ditujukan untuk memanipulasi hingga mencuri data digital. Sedangkan hacking merupakan aktivitas penyusupan ke dalam sebuah sistem komputer ataupun jaringan dengan tujuan untuk menyalahgunakan ataupun merusak sistem.
Sementara phising adalah sebuah upaya menjebak korban untuk mencuri informasi pribadi, seperti nomor rekening bank, kata sandi, dan nomor kartu kredit. Aksi phising bisa dilancarkan melalui berbagai media seperti e-mail, media sosial, panggilan telepon, dan SMS, atau teknik rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologis korban.
“Ini terjadi ini dunia nyata kita, ini bukan menakut-nakuti. Ini memberi awarenesses betapa attack itu secara global terus menerus terjadi,” jelasnya.
Untuk mengatasi serangan siber tersebut, Rudiantara meminta masyarakat rajin mengganti pin atau password secara rutin dalam menjaga kemananan data sehari-hari di era digital. Ia menganalogikan menjaga keamanan data seperti menjaga dompet.
“Siapa yang berani simpan dompet di restoran tanpa diawasi? Semua kan disimpan di kantong baik-baik. Nah sama seperti di keamanan digital kita harus selalu ikhtiar. Ikhtiarnya apa? Dengan disiplin, dengan konsisten, menjaga kerahasiaan pin, password,” ujarnya.
Rudiantara menambahkan media cetak koran menempati peringkat pertama yang dipercaya publik untuk menjelaskan kepada publik atas dampak dari serangan siber tersebut. Urutan berikutnya diduduki media layanan pesan pendek atau SMS atau melalui aplikasi perpesanan lainnya dan disusul media televisi.
“Sedangkan media sosial dinilai publik masih tidak dipercaya, karena konten di media sosial masih banyak ditemukan konten hoaks, ” katanya.
Dalam kesempatan sama, Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta meminta sistem dan strategi pertahanan Indonesia harus direformasi besar-besaran. Sebab, hingga saat ini, tak ada satupun negara yang bisa mengatakan negaranya 100 persen aman dari serangan siber.
“Di era digital ini, negara seperti rumah kaca. Sehingga, penduduk di suatu negara seperti berada di aquarium dan negara lain bisa melihatnya,” katanya.
Sementara itu, pakar intelijen dan keamanan Andi Wijayanto mengatakan, Indonesia sudah saatnya memperkuat teknologi di era digital untuk keamanan nasionalnya dari serangan siber. Sebab kualitas pengamanan siber Indonesia berada di urutan 50-an negara di dunia.
“Kualitas pengamanan siber terbaik di dunia masih dimilki oleh negara Finlandia, Estonia dan Singapura, ” Sekretaris Kabinet (Seskab) di era pertama pemerintahan Presiden Jokowi ini, ” kata Sekretaris Kabinet Presiden Jokowi 2014-2015 itu.(Bams)