SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Sampai hari ini, karya-karya seni disabilitas masih jauh dari apresiasi yang jujur. Karya mereka sering dianggap bagus karena iba pada keterbatasan penciptanya beserta proses penciptaannya. Tapi pada Festival Bebas Batas di Galeri Nasional Indonesia, jujur keterbatasan mereka justru bisa melampaui batas-batas bernama konvensi dalam seni itu sendiri.
Mereka tak peduli dengan komposisi, tak memusingkan proporsi, dan tak memiliki beban untuk menyampaikan makna-makna canggih di balik sebuah karya. Mereka juga tak pening dengan bayangan apakah karyanya akan dapat disambut apresiatornya atau tidak. Jujur, inilah panggung yang mempertemukan karya disabilitas dengan kurasi ketat lazimnya sebuah arena kesenian.
Dikurasi Sudjud Dartanto dan Hendromasto Prasetyo, pameran ini menampilkan karya-karya dari 35 peserta hasil dari seleksi ‘open call’, juga berbagai karya dari sepuluh peserta undangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Karya-karya koleksi Borderless Art Museum No-Ma Jepang, hasil workshop dari Kedutaan Spanyol di Indonesia, proyek seni yang didukung Institut Francais d’Indonesie, proyek seni yang didukung British Council, plus karya-karya terseleksi dari lima Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di Indonesia (Jakarta, Solo, Lawang, Denpasar, dan Lampung).
Dan karya-karya yang ditampilkan meliputi karya dua dimensi, dari lukisan, fotografi, gambar (drawing), media campur (mixed media), hingga karya audio visual dan interaktif. Kesemua karya menghadirkan bentuk dan teknik yang beragam, dari bentuk konvensional hingga kontemporer.
Pameran Seni Rupa karya ‘seniman disabel/difabel ’ merupakan acara pertama kali, diselenggarakan khusus Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta didukung oleh Galeri Nasional Indonesia, Art Brut Indonesia, Kementerian Sosial Republik Indonesia, British Council Indonesia, Agency for Cultural Affairs, Government of Japan – International Exchange Program Executive Committee for Disabled people’s Culture & Arts for Japan, PT Angkasa Pura II, dan PT Transportasi Jakarta. Pada Festival Bebas Batas 2018 hingga 29 Oktober 2018 nanti dan karya disabel/difabel ini menjadi penting dalam dunia seni Indonesia.
“Perspektif kurasi ini berangkat dari keyakinan bahwa ekspresi mereka adalah vital dalam praktik bermasyarakat dan berekspresi, karena itu kurasi ini bertema Pokok di Ambang Batas (Vital in Margin) yang mengisyaratkan ada yang vital dalam ruang ambang batas,” jelas Sudjud Dartanto.
“Dan Pokok(margin) disini tidak diartikan sebagai yang pinggiran/luar, namun berkonotasi aktif dan progresif,” lanjutnya lagi.
Karya karya ini adalah wujud dari kujujuran dalam melihat dan merasakan apa saja yang dialami. Ide karya mereka membentang dari pengalaman pribadi, bahkan kritik dan penghayatan mereka atas kondisi sosial/budaya. Dengan mengabaikan berbagai hasil diagnosis dari otoritas medis masing-masing mereka, secara umum dapat dikatakan bahwa ekspresi mereka lugas, spontan, dan kuat.
Kehadiran jenis pameran ini di Galeri Seni Indonesia dapat diartikan sebagai ‘manifesto’ , dan dapat membuka diskusi yang menarik tentang penamaan (labelling) ‘disabilitas/difabilitas’ dalam produksi/praktik penciptaan karya seni rupa. Sebagai sikap, kurasi pameran ini memilih untuk tidak masuk kedalam cara pandang, “able” atau “disable”. Kami memandang bahwa dalam ranah seni, ekspresi adalah sebuah praktik wicara dan wacana dari siapapun secara bebas batas, tanpa batas, urai Sudjud lagi.
Seni adalah ranah yang dapat membebaskan dari stigma dan prasangka, termasuk dalam hal ini juga adalah berbagai predikat dan penamaan yang membuat para ‘penyandang berkebutuhan khusus’ ini seolah-olah adalah kelompok sosial yang kontras dengan masyarakat/warga negara secara keseluruhan. Berbagai penelitian atas inspirasi karya yang dibuat oleh pasien pskiatris dalam sejarah seni rupa pada seniman modern membuktikan kekuatan dari seniman atau orang yang dianggap ‘berkebutuhan khusus’.
Jika dapat dikatakan dengan mudah, bukankah seniman, sebagai sosok yang dikenal dalam debut dan kiprahnya juga orang yang berkebutuhan khusus? Demikian Sudjud Dartanto menyudahinya untuk kita menikmati semya karya dan jujur mengapresiasinya.
(tjo ; foto dok