SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Kalau bicara anggaran negara, nominal triliunan sudah biasa. Tapi kalau yang disebut-sebut Rp1.000 triliun khusus buat sektor kesejahteraan sosial? Wah, itu bukan angka kaleng-kaleng. Makanya, dalam Konferensi Nasional DNIKS yang digelar Kamis (19/6/2025), muncul suara serius—dan agak nyentil—dari pengamat yang minta agar DNIKS jangan cuma nongol di acara seremoni, tapi juga ikut aktif mengawasi penggunaan dana sebesar itu.
“Isu kesejahteraan sosial memiliki perhatian khusus oleh pemerintah maupun publik, dapat dilihat bagaimana isu kesejahteraan sosial ini menjadi fondasi dalam pembahasan isu-isu lain seperti lingkungan, kesehatan, dan pendidikan,” kata Direktur Eksekutif GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, yang membuka sesi dengan gaya tenang tapi menyentil.
Konferensi yang bertema “Kesejahteraan Sosial: Tujuan Nasional, Kenyataan, Tantangan dan Harapan” ini dihadiri banyak nama besar, mulai dari Fransiscus Welirang, Hatta Taliwang, hingga A Effendy Choirie (Gus Choi). Pokoknya, daftar hadirnya seperti alumni kelas elite nasional.
Syahganda kemudian membeberkan alokasi anggaran superjumbo yang katanya akan digelontorkan pemerintah. Ia menyoroti program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, hingga pembiayaan perumahan rakyat.
“Kita tahu anggaran MBG dalam satu hari sekitar Rp1 Triliun, berarti setahun mencapai Rp300 Triliun. Lalu, pembentukan ribuan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang diperkirakan menelan permodalan Rp400 triliun, dan pembiayaan perumahan yang menelan dana sekitar Rp130 Triliun,” paparnya.
Menurut Syahganda, problem kesejahteraan sosial ini ibarat gunung es. Permukaannya terlihat program keren dan anggaran wah, tapi di dalamnya penuh dinamika—termasuk keluhan dan sentimen negatif masyarakat. Terutama soal PHK, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi yang masih merajalela.
“Terutama ketika isu kesejahteraan sosial membahas topik tentang pengangguran dan PHK yang berhubungan langsung dengan kesempatan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasar,” jelasnya.
Ngomongin buruh, Syahganda sempat kilas balik diskusinya dengan tokoh buruh Jumhur Hidayat. Katanya, kenaikan upah buruh yang ideal itu 5 persen. Tapi eh, Presiden Prabowo malah ngasih 6,5 persen—sebuah langkah yang dianggap luar biasa.
“Lalu, hal kenaikkan upah buruh itu diusulkan sebesar 5 persen, namun Prabowo memberikan kenaikan menjadi 6,5 persen. Tentu ini sebuah apresiasi yang tinggi, betapa besar perhatian Prabowo terhadap kesejahteraan rakyat,” ujar Syahganda dengan nada bangga.
Meski begitu, sentimen negatif tetap membayangi. Berdasarkan analisis data media dan medsos yang dikumpulkan oleh GREAT Institute selama sebulan terakhir (16 Mei–14 Juni 2025), mayoritas masyarakat masih merasa program pemerintah belum terasa dampaknya.
“Dominasi sentimen negatif disebabkan ketidakpuasaan terhadap kondisi sosial yang terjadi sekarang dan tidak terasanya dampak dari program-program pemerintah,” beber jebolan ITB ini, yang tak ragu kasih kritik konstruktif.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum DNIKS, A Effendi Choirie alias Gus Choi, tak tinggal diam. Ia sepakat bahwa pengawasan terhadap dana kesejahteraan perlu diperkuat agar rakyat bisa tahu program mana yang tepat sasaran dan mana yang perlu dibenahi.
“Ya, saya setuju, sehingga masyarakat tahu, apakah sudah tepat sasaran atau belum kepada rakyat yang berhak,” tegas Gus Choi.
DNIKS sendiri, menurut Gus Choi, sudah menyiapkan program Asta Bhakti yang sejalan dengan Asta Cita Pemerintah Prabowo. Fokus utamanya? Pemberdayaan sosial dan pengentasan kemiskinan.
“Dengan pemberdayaan sosial ini, warga diajak lebih kreatif dan mendorong mandiri dalam berusaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya,” pungkasnya.
Nah, sekarang tinggal ditunggu: apakah pengawasan ini benar-benar dijalankan? Atau cuma jadi konferensi yang penuh quote dan selfie? Rakyat sih maunya, dana Rp1.000 triliun itu beneran terasa sampai ke dapur, bukan cuma di papan nama.
(Anton)