SUARAINDONEWS.COM, Bandung-Keberadaan Teknologi Informasi Komunikasi ibarat dua sisi mata uang yang dapat merugikan peradaban dan kemanusiaan jika tidak digunakan secara cerdas dan bertanggung jawab. Sesungguhnya TIK dikembangkan untuk memudahkan kehidupan masyarakat dan sepatutnya mendorong pertumbuhan perekonomian serta meningkatkan peradaban kemanusiaan ke arah yang lebih baik.
“Oleh karenanya penting bagi kita untuk menguasai teknologi, dengan cara memiliki dan menggunakannya secara baik, memahami tata cara, etika, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat saat beraktivitas, berekspresi, dan berpendapat melalui TIK tersebut,” papar Ary Fitria Nandini dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, di Bandung.
Dalam Sosialisasi Revisi UU ITE dan Penggunaan Media Sosial sebagai Media Diseminasi Informasi yang diselenggarakan, Pemerintah Kota Bandung, di Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung itu, pada kenyataannya, terdapat banyak kejadian dan kasus hukum pidana di Indonesia yang melibatkan penggunaan TIK oleh masyarakat karena melakukan hal-hal yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), lanjutnya.
Ary bahkan menambahkan, tak sedikit kasus pelanggaran UU ITE yang menyita perhatian publik, seperti kasus Prita Mulyasari di Tangerang (2008), Florence Sihombing di Yogyakarta (2014), dan yang terbaru kasus Yusniar di Makassar (2016), seorang ibu rumahtangga yang ditahan Kejaksaan Negeri Makassar karena statusnya di media sosial.
Sedangkàn catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network, tahun 2008 hingga November 2016, terdapat 169 netizen di Indonesia yang diproses hukum dengan menggunakan UU ITE. Dan setidaknya ada 137 kasus yang dijerat melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Delapan tahun sejak ditetapkan 1 April 2008, Pemerintah bersama DPR RI bersepakat menyetujui RUU Perubahan UU ITE menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016.
Adapun perubahan yang mendasar diantaranya bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah dalam KUHP, dan merupakan delik aduan. “Norma hukum tersebut merupakan delik aduan sehingga yang dapat melaporkan adalah pribadi kodrati (naturlijk persoon) atau menunjuk satu orang tertentu,” jelas Ary.
Perubahan kedua ini yang perlu diapresiasi adalah penurunan ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan/atau denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.
Selain itu, juga dilakukan penurunan ancaman pidana ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti pada Pasal 29 dari paling lama 12 tahun penjara menjadi 4 tahun dan/atau denda dari Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.
“Dengan ketentuan ini, Aparat Penegak Hukum tidak lagi, secara serta merta, dapat melakukan tindakan hukum berupa penahanan fisik terhadap terlapor/tersangka,” jelas alumnus Unpad tahun 2006 ini.
Lebih lanjut disebutkan bahwa seseorang dapat dikenakan penahanan terhadapnya apabila seseorang tersebut dikenakan tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Walaupun, seharusnya ancaman penjara 5 tahun atau lebih tidak serta merta membuat seseorang dapat ditahan kecuali dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
Dengan demikian, UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan justru ditetapkan untuk melindungi kepentingan, martabat, dan kehormatan orang di masyarakat. UU ITE ditujukan untuk menegaskan hak dan kewajiban setiap warga negara, namun perlu diingat bahwa hak dan kewajiban tersebut juga terbatasi oleh hak dan kewajiban orang lain sehingga setiap pihak pelu menyikapi dengan bijak.
Dengan lebih memahami UU ITE, diharapkan pemanfaatan TIK dapat memudahkan aktivitas masyarakat. Seperti Pemerintah Kota Bandung yang menjadi salah satu kota percontohan di Asia Pasifik sejak 2014 lalu, tentang penggunaan media sosial sebagai alat manajemen kota.
Dimana Wali Kota Bandung Ridwan Kamil memanfaatkan media sosial secara terbuka sebagai sarana komunikasi dalam menyerap aspirasi serta mengontrol kondisi Kota Bandung. Setiap SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Bandung wajib menggunakan satu atau lebih media sosial sebagai salah satu sarana komunikasi dengan masyarakat.
(tjo/THD)