SUARAINDONEWS.COM, Brussels-Galeri Nasional Indonesia, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam meramaikan ajang Europalia Arts Festival Indonesia 2017–2018, berpartisipasi juga dalam Pameran “Power and Other Things” di Galeri Seni Bozar, Brussels, Belgia.
Disamping menggelar Pameran Seni Rupa Kontemporer Indonesia bertajuk “LALU, KINI [Budaya Bendawi/Material Culture]” di Brussels dan Antwerp, Belgia. yang menampilkan karya dua perupa Indonesia yaitu Faisal Habibi (Bandung) dan Eko Prawoto (Yogyakarta). Karya Faisal berjudul “Gunungan” dipamerkan pada 17 September 2017 – 21 Januari 2018 di Festival Centre Gedung Dynasty, Brussels. Sedangkan karya Eko berjudul “Bale Kambang” dipamerkan pada 28 Oktober 2017 – 21 Januari 2018 di Bonaparte Dock – Museum aan de Stroom (MAS), Antwerp.
Pameran “Power and Other Things” yang berlangsung hingga 21 Januari 2018, dikuratori Riksa Afiaty dan Charles Esche menampilkan karya-karya seni rupa modern dan kontemporer, mulai dari periode tahun 1835 hingga sekarang menyoal masa kolonialisme Belanda dan Jepang, kedudukan perempuan, dan imigrasi. Dalam bentuk karya lukis dan sketsa koleksi Istana Kepresidenan, Galeri Nasional Indonesia, OHD Museum, Galeri Nasirun, dan S. Sudjojono Center, selain karya-karya instalasi.
Keseluruhan karya yang disajikan merupakan hasil olah artistik 21 perupa Indonesia dan perupa Eropa. Diantaranya Raden Saleh, Jan Toorop, Emiria Sunarsa, FX Harsono, Agung Kurniawan, Mella Jaarsma, Saleh Husein, Maryanto, Antariksa, Dea Aulia Widyaevan, Leonardiansyah Allenda, Lifepatch, Timoteus Anggawan Kusno, dan Octora Chan.
Dalam Pameran “Power and Other Things” tersebut, koleksi Galeri Nasional Indonesia terpilih untuk dipamerkan. Karya lukisan S. Sudjojono berjudul Tjap Go Meh, berbahan cat minyak pada kanvas, ukuran 73 x 51 sentimeter, yang dibuat pada tahun 1940. Karya Tjap Go Meh, mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Lukisan karnaval perayaan keagamaan Cina tersebut menghadirkan suasana hiruk pikuk, juga ironi. Yang dimaksud ironi bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan berbagai emosi dengan absurd, bisa juga merepresentasikan ketimpangan sosial.
Hal itu terkait setting sosial tahun pembuatan karya, 1940, yang merupakan masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah Kolonial semakin keras kepada para nasionalis, juga berbarengan dengan euphoria menjelang kedatangan tentara Jepang. Pada latar depan tampak seorang wanita menari dalam gandengan seorang yang bertopeng, diapit ambtenaar berdasi yang di sebelahnya terdapat seorang pemusik bertopeng buaya. Di sisi pemusik tersebut ada sosok kecil yang berdiri tegak termangu-mangu. Sedangkan pada latar belakang wanita yang menari tampak berombak massa yang berarak dan menari dalam kegembiraan.
Sudjojono dalam era Persagi dan masa Pendudukan Jepang berusaha merealisasikan seni lukis Indonesia baru, seperti yang disuarakan melalui tulisan dan karya-karyanya. Jiwa semangat itu menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang menampilkan keindahan dan eksotisme. Lukisan Tjap Go Meh merupakan salah satu implementasi dan perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualisme dan nasionalisme.
Pameran “Power and Other Things”, bagi Kepala Galeri Nasional Indonesia Tubagus ‘Andre’ Sukmana tak hanya suatu bentuk sinergi yang baik antarlembaga budaya pemerintah, namun sekaligus memperkenalkan perupa Indonesia dan karya terbaiknya, serta seni lukis modern Indonesia kepada publik internasional.
(tjo; foto ist