SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Lantaran, kerap mangkir hadir di persidangan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan wajib menolak upaya hukum PraPeradilan Nurhadi. Sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 yang menegaskan bahwa dalam hal tersangka melarikan diri atau dalam status DPO, maka Tidak Dapat diajukan permohonan Praperadilan.
Demikian hal tersebut disepakati oleh Kurnia Ramadhana, Divisi Hukum dan Peradilan ICW, Erwin Natosmal, Kordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia dan Julius Ibrani, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) saat menyikapi proses praperadilan yang diajukan Nurhadi serta menanggapi komitmen praktik pemberantasan korupsi di wilayah peradilan.
Seperti diketahui, tanggal 5 Februari lalu untuk kedua kalinya Nurhadi melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Langkah ini ditempuh setelah praperadilan sebelumnya ditolak oleh Hakim. Selanjutnya diperkuat dengan KPK yang telah mengirimkan surat kepada Kapolri pada Selasa 11 Februari 2020 untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan Nurhadi.
Oleh karenanya PN Jakarta Selatan wajib menolaknya karena bertentangan dengan SEMA No.1 Tahun 2018. Selain tentu putusan menolak Praperadilan ini menjadi titik awal untuk mengetahui sudah sejauh mana penegakan pemberantasan korupsi di lingkungan peradilan telah berlangsung, jelas dalam hal tersebut menjadi pokok catatan ketiganya.
Begitu pun dalih Kuasa Hukum Nurhadi pun terbantahkan dengan adanya pemberitaan yang menyebutkan bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang sebenarnya sudah diterima oleh para tersangka. Dimana dalam sebuah pemberitaan disebutkan bahwa SPDP atas nama Nurhadi dan Rezky sudah diterima 10 Desember 2019 di kediaman yang diduga milik Nurhadi, yakni Jalan Hang Lekir Nomor 6, Jakarta Selatan. Sehingga dengan demikian alasan yang dimohonkan oleh Nurhadi melalui Kuasa Hukumnya sepatutnya dapat dikesampingkan oleh Hakim, tambah pada catatan mereka.
Meski demikian, langkah KPK yang nampak kesulitan dalam menemukan dan menangkap Nurhadi patut pula dikritisi. Begitu pula pernyataan dari Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yang patut diduga penuh dengan kejanggalan. Lantaran pernyataannya yang mengatakan bahwa lembaga anti rasuah itu berencana menyidangkan Nurhadi dengan metode in absentia.
Padahal penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor tegas membatasi implementasi in absentia, yakni hanya pada perkara terkait kerugian negara. Sedangkan Nurhadi dijerat dengan Pasal suap, lalu apa yang diharapkan oleh KPK ketika memaksakan menggelar persidangan in absentia?
Ini merupakan ujian bagi lembaga peradilan sebab, bagaimana pun perkara yang melibatkan Nurhadi ini menjadi penting sebagai pintu masuk untuk membongkar dugaan praktik-praktik oknum mafia peradilan yang selama ini masih berlangsung. (KP/EN/JI foto ist)