SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan pemerintah dan DPR tak perlu cawe-cawe mengutak-atik urusan rumah tangga (RT) kesultanan Yogyakarta. Semua pihaknya hendaknya menerima apapun keputusan atau kesepakatan yang diambil kalangan internal keraton Yogyakarta.
“Biarkan keraton menyelesaikan urusan internalnya sendiri. Model monarkhi dalam sebuah pemerintahan itu, merupakan kearifan lokal yang menarik bagi dunia dan harus dijaga. Yang penting, kepentingan kita cuma satu, jangan sampai terpecah-belah, “ ujar Lukman Edy (LE) dalam forum legislasi, bertema “Dampak Panjang MK Kabulkan Uji Materi UU No.13/Tahun 2012” di media center DPR Jakarta, Kamis (5/9/2017). Turut hadir Pengamat Politik Margarito Kamis.
LE mengingatkan perdebatan Uji Materi UU No.13/Tahun 2012 dan lamanya pembahasan cukup menyita perhatian publik. Bahkan menimbulkan adanya mobilisasi di Yogyakarta dan kemudian DPR mengesahkan UU DIY ini lengkap dengan persoalan yang ditimbulkannya.
Adanya wacana untuk merevisi UU berhubungan pilkada di DI Yogyakarta, dihubungkan dengan keputusan MK mengenai calon gubernur dan wagub dibolehkan wanita yang sebelumnya hanya pria. “Tentu DPRD DI Yogyakarta juga akan menyinkronkan Perda tentang pilkada di wilayahnya merubah syarat pencalonan yang awalnya hanya untuk pria sekarang ditambah wanita. Tapi, itupun tergantung dari DPRD sana,” ujar LE.
Hal senada dikatakan oleh Margarito Kamis. Menurutnya, pemerintah dan DPR diminta untuk tidak mengutak-atik urusan rumah tangga (RT) kesultanan Yogyakarta. Apapun yang diputuskan oleh hasil kesepakatan ‘orang dalam’, maka itulah yang harus diterima, termasuk apabila yang menjadi Sultan nantinya tetap laki-laki bukan perempuan.
“Jika sudah jadi Sultan, maka otomatis menjadi gubernur DI Yogyakarta. Apakah dia pria atau wanita. Tergantung keputusan keluarga dalam kesultanan,” katanya.
Margarito menanggapi soal Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan syarat pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Pasal tersebut menjelaskan bahwa syarat cagub dan cawagub Yogyakarta harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Menurut Margaritho, semua pihak mestinya tahu sejarah bagaimana Yogyakarta mau menyatu dengan Republik Indonesia. Sebab, katanya predikat Daerah Istimewa (DI) itu bukan pemberian pemerintah Indonesia, melankan pernyataan Sultan Yogyakarta saat mau bergabung dengan Indonesia. Bukan dari pemberian pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno.
“Jadi, urusan soal DI ini hanya antara sultan dengan presiden langsung sedangkan di luar itu tidak ada kekuatan, “ ujarnya.(Bams/EK)