SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Menanggapi adanya pemberitaan bertajuk “Papua: Investigasi ungkap perusahaan Korsel ‘sengaja’ membakar lahan untuk perluasan lahan sawit” oleh BBC Indonesia, 12 November 2020, merupakan tuduhan yang serius. Dan tuduhan yang sama pernah dilontarkan LSM Amerika, Mighty Earth, pada tahun 2017 yang mengajukan pengaduan kepada FSC (Forest Stewardship Council).
Demikian ditegaskan Luwy Leunufna, GM Palm Oil Division Korindo Group yang didampingi Julian Mohammad Riza, Public Relation Manager Korindo Group, seusai Press Conference Virtual (18/11) terkait Klarifikasi serta Bantahan yang disebutkan BBC Indonesia dalam pemberitaannya.
Ditambahkan Luwy Leunufna, FSC (Forest Stewardship Council) sebuah organisasi global yang sangat dihormati di bidang kehutanan. FSC membentuk 3 panel ahli independen dalam bidang kehutanan dan citra satelit dengan reputasi otoritatif dan pelatihan akademis di bidangnya masing masing.
Selanjutnya FSC merilis pernyataan resminya 23 Juli 2019 setelah penyelidikan dilakukan sebagai berikut : “The original allegations against Korindo included an allegation that Korindo was systematically using fire for land clearing. The panel found that on the balance of probabilities this was not the case.”
Selanjutnya, Korindo telah memerkarakan LSM Mighty Earth yang telah membuat pernyataan tersebut ke pengadilan Jerman, dan proses pengadilan sedang berjalan. Dan tidak seperti Forensic Architecture, Panel Investigasi FSC terdiri dari ahli kehutanan profesional yang berkualifikasi meninjau ke lokasi di Papua secara langsung untuk melakukan pemeriksaan lapangan. Panel FSC juga terdiri dari para tenaga profesional citra satelit.
Sementara Forensic Architecture yang membuat ‘klaim untuk BBC’ dengan memeriksa foto foto lama berusia 10 tahun adalah sebuah badan penelitian hak asasi manusia, yang bekerja atas bayaran, dan sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang kehutanan. Mereka bukan badan terkait kehutanan ataupun kelapa sawit.
Luwy Leunufna pun melansir, temuan FSC tersebut memperkuat hasil investigasi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke dengan Nomor Surat 522.2/0983 tertanggal 24 Agustus 2016 yang menyatakan bahwa pembukaan lahan dilakukan secara mekanis dan tanpa bakar.
Terdapat juga surat dari Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK RI Nomor S.43/PHLHK/PPH/GKM.2/2/2017 tertanggal 17 Februari 2017 yang menyatakan bahwa anak perusahaan Korindo Group yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit tidak melakukan ‘Illegal Deforestation’ dan telah memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK.
Begitupun terkait Petrus Kinggo maupun Elisabeth Ndiwaen yang menjadi narasumber BBC Indonesia dalam pemberitaannya, menurut Luwy Leunufna, perlu ditegaskan bahwasanya pada tahun 2015, perusahaan telah melakukan pembayaran pelepasan hak atas tanah ulayat kepada 10 marga seluas 16.000 hektar yang berada di area PT Tunas Sawa Erma Blok E sesuai dengan perjanjian dan jumlah yang telah disepakati bersama, termasuk dengan Petrus Kinggo.
Meskipun Petrus Kinggo dan semua marga lainnya telah menerima pembayaran kompensasi pelepasan lahan, namun hingga saat ini perusahaan belum pernah melakukan pembukaan lahan di seluruh areal PT Tunas Sawa Erma Blok E. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada hak atas tanah masyarakat yang dilanggar oleh perusahaan.
Begitu pula, informasi yang diragukan lainnya berasal dari Elisabeth Ndiwaen yang merupakan perwakilan marga yang berada di PT. Dongin Prabhawa. Faktanya yang bersangkutan lahir dan dibesarkan, serta masih tinggal di Kota Merauke yang jaraknya sangat jauh sekitar 400 km (jalan darat dan sungai) dari lokasi perkebunan, dan bukan perwakilan marga.
Perlu dicatat, tegas Luwy Leunufna, merespon aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan adanya perubahan, pembangunan, dan kesejahteraan hidup, maka sejak awal perusahaan dan masyarakat bersama sama terus menjalin komunikasi yang baik dan membuat kesepakatan dengan pemilik hak ulayat yang berada di PT. Dongin Prabhawa.
Seperti kesepakatan pembayaran hak ulayat kepada 8 marga di tahun 2011, dilanjutkan dengan kesepakatan program pembinaan masyarakat, serta dicapainya kesepakatan pembayaran dana pengembangan kampung sebesar Rp 30 miliar pada tahun 2012. Hingga saat ini perusahaan terus merealisasikan kesepakatan kesepakatan tersebut.
Oleh karenanya, sebagai bentuk komitmen terhadap transparansi, perusahaan akan melakukan investigasi terhadap kedua isu di atas secara mendalam dan melibatkan para pihak terkait. Proses investigasi ini dimasukkan kedalam Sistem Penanganan Keluhan (Grievance System) Korindo.
Luwy Leunufna, GM Palm Oil Division Korindo Group yang didampingi Julian Mohammad Riza, selaku Public Relation Manager Korindo Group menyimpulkan bahwa isu yang tercantum dalam berita terkait, tidak benar adanya. Korindo Group selalu mengutamakan transparansi, kebijakan yang mendukung masyarakat, dan selalu patuh akan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.(*tjoe)