SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Dengan dikeluarkannya Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015, tertanggal 20 Oktober 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan amar putusannya menyatakan “Batal dan Mewajibkan” Menteri Hukum dan HAM “Mencabut” Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan.
Maka MenkumHAM, Yasonna Laoly, lalu mengeluarkan Keputusan Menkum HAM RI Nomor: M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2016, tertanggal 7 Januari 2016, tentang Pencabutan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 Tanggal 28 Oktober 2014 Tentang Pengesahan Petubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan.
Lantas, dimana dugaan keras “tricky pemerintah” atau dengan kata lain intervensi politis pemerintah atas partai politik yang telah mengakibatkan polemik berkepanjang yang menimpa PPP dibawah kepemimpinan Djan Faridz selama ini?
Yakni terletak pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2016, tertanggal 17 Februari 2016, dengan tetap masih mendasarkan pada Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015, yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk menetapkan Pengesahan Susunan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Hasil Muktamar Bandung 2011, yang ditandatangani MenkumHAM, Yasonna Laoly.
Padahal secara tegas Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015 tersebut dalam amar putusannya “Tidak Menyebutkan untuk Menerbitkan Kembali SK Muktamar Bandung”, yang secara nyata Muktamar Bandung sudah habis masa berlakunya dan sudah tidak berlaku lagi.
Hal inilah semakin membuktikan bahwa MenkumHAM belum melaksanakan Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015 tersebut. Bahkan ada 2 SK dikeluarkan MenkumHAM berdasarkan Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015 itu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan MenkumHAM telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan mengeluarkan SK yang melebihi dari apa yang diperintahkan oleh amar Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015 a quo.
Bahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, secara tegas menyebutkan;
Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART (Pasal 32 ayat 1); Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik ( Pasal 32 ayat 2); Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus diselesaikan paling lambat 60 hari (Pasal 32 ayat 4).
Dan diperkuat lagi di Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalan Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri”.
Selanjutnya, Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 33 ayat 2).
Apalagi MA-RI melalui Putusan PK No. 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016 tanggal 12 Juni 2017 telah: MEMBATALKAN Putusan Kasasi MA-RI No. 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015, yang semakin melanggar daripada ketetapan UU No.2 Tahun 2011, Pasal 33 ayat (2).
Dengan demikian jelaslah bahwa Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dapat diduga keras melakukan intervensi politis pemerintah didalam berkepanjangannya polemik yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan hingga detik ini melalui produk-produk hukum yang dikeluarkan, termasuk pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2016, tersebut.
Sekaligus membuktikan bahwa Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015, tertanggal 20 Oktober 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan amar putusannya menyatakan “Batal dan Mewajibkan” Menteri Hukum dan HAM “Mencabut” Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan, pada faktanya “Tidak Pernah Di Eksekusi”, dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2016, itu.
Alih-alih menuntut keadilan dan kepastian hukum, namun fakta tegas memperlihatkan bahwa telah terjadi “Penyelundupan Hukum” oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, atas polemik berkepanjang PPP, sehingga tampak telanjang kejanggalan dan pelanggaran produk-produk hukum yang dikeluarkannya terhadap Undang-Undang yang ada.
Kuatnya intervensi politis pemerintah atas penolakan kepemimpinan Djan Faridz di partai politik islam tertua di republik ini, melalui KemenkumHAM secara kasat mata ditunjukkan dengan dimasukannya “Pengesahan Susunan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Hasil Muktamar Bandung 2011” (yang sudah tidak berlaku, red) dan pembiaran terjadi PK atas PK yang sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang Parpol.
PPP dibawah kepemimpinan Djan Faridz menuntut Menkum HAM segera mencabut dan membatalkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2016, sebagai sumber utama polemik hukum di tubuh PPP selama ini. Karena secara tegas bertentangan dengan UU No.2 Tahun 2011 (Pasal 32, Pasal 33) dan amar Putusan Kasasi Nomor: 504/TUN/2015.
(*oleh Neshawaty Arsyad SH, MH, CIL, Kuasa Hukum