SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Indonesian Parliamentary Center (IPC) pesimistis terhadap penyelesaian RUU oleh DPR, mengingat lembaga parlemen tidak bisa memanfaatkan waktu secara maksimal. Rendahnya kinerja DPR RI bisa dilihat dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 RUU, yang bisa diselesaikan sampai 2016 hanya 14 RUU.
“Kami pesimistis terhadap penyelesaian RUU oleh DPR. Hingga saat tahun 2016, DPR baru menyelesaikan 14 RUU. Artinya 169 RUU yang perlu diselesaikan dari 2017 hingga 2019 mendatang, sementara waktu tersisa efektif hanya 152 hari, ” kata Direktur IPC Hanafi, pada acara Forum Legislasi ‘Catatan Kinerja Legislasi 2016 dan Proyeksi Legislasi 2017-2019’ bersama anggota Badan Legislasi Misbakhun (F-Partai Golkar), Wakil Ketua Komisi II Arief Wibowo (F-PDI Perjuangan) di press room DPR RI Senayan, Selasa (24/01).
Hanafi merasa pesimis sisa prolegnas 2014-2019 sebanyak 169 RUU bisa diselesaikan sampai berakhir periodeisasi anggota DPR sekarang ini. Karena masa efektif untuk legislasi sampai 2019 hanya 152 hari.
Hitungan Hanafi tersebut yang DPR RI telah menetapkan 2 hari legislasi dalam satu pekan. Artinya dalam 1 bulan ada 8 hari legislasi. Masa bakti DPR periode ini tersisa Januari 2017 sampa dengan September 2019. Tahun 2017 dan 2018 ada lima kali reses, sedangkan pada 2019 kemungkinan hanya 4 kali reses.
“Bagaimana menyelesaikan 169 RUU dalam 152 hari. Berkaca pada kemampuan legislasi pada periode sebelumnya, maka kemungkinan besar target prolegnas 2014-2019 tidak tercapai,” kata Hanafi dengan nada pesimis.
Produk Legislasi Harus Berpihak Kepentingan Masyarakat
Menanggapi hal itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa pihaknya sangat mau memberikan hasil kerja yang maksimal. Hanya saja untuk mencapai itu semua, sarana pendukung tugas kedewanan harus juga diperbaiki.
“Masalahnya di supporting system anggota DPR juga harus bertanggungjawab, ini menjadi penting,” kata Misbakhun.
Tudingan yang menyebutkan bahwa anggota DPR belum mampu membuktikan kerja maksimal, kata Misbakhun, harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak terbentuk opini miring di kalangan masyarakat bahwa DPR tidak mampu mewakili kepentingan rakyat. Dia mencontohkan saat DPR akan rapat dengan mitra kerja, namun tidak datang. Ini berdampak pada citra DPR di mata publik.
“Bahwa dalam melahirkan suatu Undang-Undang, kami harus betul-betul yakin produk legislasi tersebut berpihak pada kepentingan masyarakat Republik ini,” katanya.
Misbakhun juga mengatakan bahwa dalam melahirkan suatu UU harus betul-betul diyakini produk legislasi tersebut berpihak pada kepentingan masyarakat republik ini. Contohnya RUU perkelapasawitan yang merupakan komoditas Indonesia dan sudah mendunia. Tetapi faktanya terjadi persaingan di pasar minyak dunia, khususnya bagi produsen minyak jagung maupun minyak kedelai.
“Kita kan harus berpihak pada kepentingan bangsa ini. Begitu juga terhadap RUU pertembakauan, kita memilih berpihak kepada kepantingan petani tembakau kita,” tegas Misbakhun.
Sedangkan Arief Wibowo mengatakan seharusnya program legislasi (UU) itu sejalan dengan program pembangunan nasional yang akan dijalankan oleh pemerintah agar terjadi sinergi antara DPR RI dan pemerintah dalam usaha mewujudkan pembangunan nasional.
“Kita sering salah paham, paradoks seolah-olah DPR RI ini dituntut menjadi manufaktur perusahaan yang hanya untuk memproduksi undang-undang. Tidak berpikir apakah UU itu berkualitas atau tidak, dan berpihak untuk kepentingan rakyat atau tidak. Jadi, semua harus dikembalikan kepada sistem politik dan kepartaian,” tegas politisi PDIP.(Bams/EK)