SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Salah satu Iakon dalam perwayangan Jawa yang menggambarkan disharmoni adaIah Iakon Petruk Dadi Ratu (Petruk menjadi raja). Lakon ini hendak menunjukkan kekacauan yang sudah melewati batas. Yaitu keadaan ketika disharmoni semakin meluas sehingga Petruk yang hanya seorang abdijelata dan terbelakang, akhirnya dapat menobatkan diri sebagai raja.
Hanya situasi yang benar-benar kacau yang memungkinan orang-orang seperti Petruk berhasil menggenggam kekuasaan. Ketika orang orang seperti Petruk berkuasa, maka keadaan yang semulo harmonis pada akhirnya akan rusak.
Semua orang dapat bermanuver dengan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Sang Petruk naik ke tampuk kekuasaan bukan untuk kemasiahatan banyak orang, melainkan demi kepentingannya sendiri.
Kesabaran Petruk sudah habis. la murka dan menghajar siapa saja hingga akhirnya dapat merebut kekuasan dengan paksa. Sang Petruk pun menobatkan dirinya sebagai raja dengan gelar Prabu Kanthong Bolong (raja dengan kantong bolong). Dan setelah berkuasa, Petruk mengobrak-abnk tata hukum, tata politik dan bahkan tata sosial yang sudah membusuk. Petruk menangkapi para pencoleng politik dan oknum-oknum yang suka bikin kacau. Semua orang kebingungan. Bahkan dewa-dewa di Kahyangan juga resah.
Para penguasa di kerajaan-kerajaan lain pun bersatu untuk menghentikan Iangkah sang Petruk. Petruk dikepung dan digempur dari segala jurusan: dari darat, udara, laut. Tapi mereka tak kuasa melawan Petruk. Sang Petruk bahkan berhasil merebut tahta suci milik para dewa di Kahyangan. Petruk juga akan memusnahkan kehidupan yang sudah Iapuk-busuk, laiu menggantinya dengan kehidupan baru yang lebih baik dan segar-bugar.
Tapi akhirnya muncul tokoh Semar sebagai “bapak” para Panakawan yang berhasil “memaksa” Petruk membatalkan rencananya. Semar meminta Petruk kembali ke habitatnya sebagai rakyat jelata dan menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang yang pantas menjalankan kewajiban kenegaraan.
Petruk setuju tapi dengan syarat: jika para penguasa itu nanti tetap ngawur, maka ia akan mengamuk kembali. Semar mengatakan bahwa kewajiban rakyat adalah terus mengawasi gerak-gerik dan perilaku para penguasa agar mereka tidak keblinger. Tugas Panakawan adalah menjaga “harmoni”.
Dalam karya-karya keramik Butet Kertaredjasa, yang dihadirkan dalam Pameran Tunggal Seni Visual Butet Kartaredjasa yang bertajuk “Goro~goro: Bhinneka Keramik“, 30 November -12 Desember 2017 di Gedung A Galeri Nasional indonesia, tampak bahwa para Panakawan-pun kini telah retak dan bahkan terbelah. Hal itu muncul pada karya berjudul Panakawan Unfriend, berupa gambar sosok atau wajah Panakawan yang retak dan terbelah.
Istilah ”unfriend” ini diambil dari dunia virtual dan media sosial hari ini. Jika Anda terkena unfriend, berarti hubungan Anda dengan orang Iain telah hancur. Nah, di zaman goro-goro ini, bahkan Panakawan-pun telah saling mengunfriend. Atau di-unfriend”, ungkap BK.
Kita hari ini memang sangat rapuh. Segalanya terancam pecah. Keindahan harmonis yang ”abadi” (dalam keramik) sewaktu-waktu dapat hancur berkepingkeping. Tapi, “Jangan kapok menjadi Indonesia”. Meski segalanya siap pecah. proses itu harus terus dijalani. Kita dapat menata kembali kepingan demi kepingan. serpihan demi serpihan, menjadi koiase baru, kebhinekaan baru. Ke-lndonesiaan baru. Terus-menerus.
BK mengatakan bahwa kebhinnekaan itu hari ini sering dipahami dari sisi negatif sehingga menimbulkan perpecahan dan fragmentasi sosial. la menegaskan: ”Di antara berbagai kelompok, suku dan agama semakin rawan terjadi konflik. Banyak orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Bahkan berusaha meniadakan orang lain dengan kekerasan.” Artinya Kebhinnekaan itu kini telah jadi kutukan. ltulah goro-goro. Segalanya seperti sedang meluncur menuju chaos dan anarki. Kehidupan penuh dengan ketidak pastian dan rasa cemas.
Dalam wayang kulit Jawa, sesi goro-goro itu biasanya muncul pada pertengahan pertunjukan. Sang dalang menggambarkan goro-goro sebagai keadaan serba kacau, yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar, penjahat jadi pahlawan, gunung meletus, lautan mengamuk, banjir bandang, pegebluk dan penyakit aneh dan “misterius” muncul di mana-mana. Sesi goro-goro ini biasanya akan ditutup dengan munculnya para Panakawan yang membahas situasi kacau tersebut dengan gaya komedi dan candaan serta refleksi moral secukupnya.
Bagi Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pameran ini menjadi wujud merayakan kembali ziarah Butet ke dunia seni rupa sekaligus sebagai bentuk usahanya mengeksplorasi pengembaraan artistik dengan media keramik.
Publik umumnya mengenal Butet dengan talenta di bidang seni pertunjukkan melalui kepiawaiannya sebagai aktor monolog. Taienta ini memang digelutinya sejak duduk di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) pada akhir tahun 70-an. Namun sebenarnya Butet merupakan salah satu perupa Indonesia yang turut mendinamiskan kegiatan seni rupa Indonesia sebagai pelukis, sketcher, dan penulis ulasan seni rupa dl media massa.
Kali ini, Butet telah kembali melalui karya dengan media keramik yang telah dikerjakannya dalam rentang waktu 2015 hingga 2017. Karya-karya Butet satu sisi memperlihatkan fungsionalitas sebagaimana sebuah kriya, tetapi pada sisi lainnya tetap bersifat personal dan menyimpan gagasan-gagasan artistik. lnilah yang menjadi keunikan karyakarya Butet, antara hiasan dan gagasan terlebur menghasilkan alah cipta seni visual yang artistik. Tak hanya itu, karya-karya keramik Butet juga tetap memunculkan ekspresi personal dirinya yang jenaka, jelas Ketua Galeri Nasional Indonesia, Tb.Andre Sukmana.
Di Jawa dikenal istilah “pasemon”, yakni suatu formulasi simbolik untuk mengungkapkan sesuatu dengan metafora, sindiran halus atau ungkapan-ungkapan tidak Iangsung sehingga pandangan setajam atau sepedas apapun dapat diterima dengan enteng dan gembira.
Golek Ilmu turut ndalan. Sinau seka sandungan. Obah mamah, mingset nggeget. Nyikut nggrawut, ngglethak penak. Urip mung mampir ngguyu. Sumeleh, sumeleh, sumeleh. Itulah pesan BK diantara Keramik, Kebhinnekaan dan Petruk Dadi Ratu.
(tjo; foto ist