SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Anggota Komisi I DPR Fraksi Nasdem Supiadin Aries Saputra menilai kasus dugaan korupsi pembelian Helikopter Agusta Westland (AW) 101 penuh kejanggalan. Pasalnya, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum menemukan adanya kerugian negara, seperti yang disebutkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
“Ya itu lah, kita akan tanyakan kepada Panglima TNI kenapa kerugian negara, karena secara prosedur tidak ada masalah, karena kalau prosedur tidak dijalani tidak mungkin pesawat itu sampai ke sini. Jadi prosedurnya sudah benar,” kata Supiadin dalam Diskusi bertajuk “RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan” di Media Center di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut adanya kerugian negara sebesar Rp 220 miliar dari nilai proyek sebesar Rp738 Miliar dalam pembelian Heli AW 101. Bahkan pembelian AW 101 juga dinilai menyalahi prosedur hukum dan menjatuhkan wibawa TNI AU selaku pelaksana dari pembelian alutsista tersebut.
Supiadin memgatakan jika ditemukan adanya kerugian negara, hendaknya diserahkan terlebih dahulu kepada angkatan masing-masing. “Jangan langsung, ujarnya, mempublikasikan bahwa ada kerugian negara dalam pengadaan Helikopter AW-101 itu, ” ujar politisi dari Fraksi Partai Nasdem itu.
Supiadin yang juga anggota Badang Anggaran DPR itu mengatakan penggunaan anggaran itu sama, tapi dalam pengusulan alutsista ada pada masing-masing angkatan. Tapi pengusulan itu harus dibawah pengawasan panitia, pengusul dan pengadaan yang dibawah Panglima TNI dan Menhan. “Jadi seharusnya Panglima TNI sudah tahu, tidak ada pengajuan alutsista tiba-tiba datang ke sini, Mabes TNI tidak tahu itu tidak masuk akal,” katanya.
Saat ini sudah ditetapkan tersangka adalah, Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Letkol. Adm TNI WW selaku pemegang kas. Kemudian, Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Sementara itu Marsekal Muda TNI SB yang pernah menjabat sebagai Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara dan disebut ikut bertanggung jawab dalam proses pembelian helikopter AW101.
Sementara Conny Rahakundini berpendapat apabila kasus AWA diteruskan akan membawa banyak masalah. Conny mengaku telah membuat laporan untuk presiden tertanggal 16 Februari 2017. Menurutnya, untuk mencapai visi Presiden tentang negara Poros maritim dunia maka ada dua hal penting, bagaimana pembangunan proses kekuatan berikut proyeksinya dan bagaimana masalah industri pertahanan. Langkah tersebut perlu dilakukan presiden demi terwujudnya kemandirian profesionalisme TNI.
Conny menilai Kapolri lebih banyak bekerja dibandingkan Panglima TNI dalam anggaran pertahanan/kemanan negara. Hal itu bisa dilihat dari langkah Kapolri Tito Karnavian yang berhasil menggelembungkan anggaran keamanan dari Rp44 Trilin tahun 2014 menjadi Rp87 Triliun pada tahun 2017 atau hampir 2 kali lipat.
“Jadi Pak Tito sudah bisa menerangkan, ini lho nanti keamanan akan seperti ini, ancamannya ini, yang harus di beli ini dan sebagainya dan berhasil beliau, ” ujar Conny.
Sementara Panglima TNI pada tahun 2014 anggaran pertahanan sebesar Rp84 Triliun dan tahun 2017 menjadi sebesar Rp108 Triliun. Harusnya kalau hitungan kasar, Panglima TNI mestinya memperoleh anggaran Rp168 Triliun sebab TNI telah berubah dan berbenah. Presiden pernah menyebut TNI akan membangun kekuatan tentara poros maritim dunia, otomatis akan menjadi negara poros dirgantara dunia.
“Saya tidak tahu, kenapa Panglima memperoleh jatah (anggaran) tidak sesuai dan harapan menjadi negara poros maritim. Apakah beliau tidak bermanuver atau terlalu bermanuver di tempat yang lain? Ini ada kaitannya dengan konflik yang harus dibahas sekarang, ” ujarnya.(Bams/EK)