SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-“Kehidupan disana sini
Kini tengah dilanda depresi
Muda mudi banyak yang mencari
Kepastian identitas diri
Resesi ekonomi
Dunia gelisah semakin nyata
Tuntutan hidup serba harmoni
Hanya mimpi belaka … ”
Tahun 1983, selepas Sekolah Menengah Pertama, sesungguhnya menjadi awal mengenal sang legenda penyanyi Chrisye secara intens. Dimana di tahun itulah merupakan tahun — tahun transisi jiwa remaja menuju dewasa, sekaligus oase dahaga atas situasi sosial kemasyarakatan yang berkembang dewasa itu.
Dan lewat album Resesi, yang menjadi album kolaborasi Eros Djarot, Jockie dan Chrisye sebagai album dari ‘oase kritik sosial’ yang dikemas apik sebagai potret kondisi masyarakat yang ada tersebut. Apalagi setelah Resesi, Chrisye melanjutkan kerjasamanya dengan Eros dan Jockie di album Metropolitan (masih di tahun 1983, red). Album beraliran new wave yang juga membahas isu yang dihadapi para pemuda dan pemudi saat itu.
Chrisye seolah mewakili para remaja yang tengah bertransisi untuk menuangkan perasaannya. Album Resesi pun menjadi Album laris di pasar dengan 350.000 keping terjual lewat sejumlah singlenya “Lenny”, “Hening”, dan “Malam Pertama”, yang banyak diputar di sejumlah radio. Sehingga silver album pun disematkan untuk album ini dan Samat Jalan Kekasih” menjadi hitz nya.
Tahun 1984, saat gejolak cinta remaja tengah bergelora dan rasa ingin tahu yang terus memuncak hadir, Chrisye, Eros, dan Jockie kembali menghadirkan album Nona, yang memuat berbagai kritik sosial; dan menghasilkan empat singel laris yang lagi-lagi diganjar sebagai album platinum kala itu.
Masih di tahun yang sama, Chrisye bergandengan dengan Addie MS, Guruh dan Junaidi Salat, menghasilkan album Sendiri. Lagi-lagi melahirkan tiga single laris dan didapuk penghargaan BASF Award. Biarpun tiga album itu laris di pasar, Chrisye dan keluarganya, kabarnya harus menjual mobil mereka. Ini yang kemudian membuat Chrisye mempertimbangkan berhenti dari dunia musik, meski hal tersebut lalu urung.
Di penghujung tahun 1984 Chrisye berkolaborasi dengan Adjie Soetama di album Aku Cinta Dia, yang direkam tahun 1985, dengan beat ringan dan melodi sangat ceria. Disusul album berikutnya yang mempunyai beat dan irama yang mirip Aku Cinta Dia, yakni Hip Hip Hura, dan Nona Lisa, (yang rilis tahun 1986). Dan tahun 1987 menjadi ujung dari intensitas mengikuti perjalanan Chrisye, lantaran panggilan berorganisasi politik begitu menggebu. Sekaligus menjadi Pemilu pertama untuk melaksanakan Hak Politik sebagai warga negara Indonesia.
Era-era kritik sosial Chrisye pun berangsur luruh beralih ke album – album yang memiliki ‘sentuhan rasa yang begitu dalam dan begitu indah’ seperti Jumpa Pertama, (1988), Pergilah Kasih (1989).
Pada tahun 1992 Chrisye merekam versi daur ulang dari lagu Koes Plus bertajuk “Cintamu T’lah Berlalu”, bersama Younky; 1993 merekam Sendiri Lagi, juga bersama Younky. Chrisye mulai merasa tekanan dari industri musik yang semakin mengutamakan penampilan dan meningkatnya jumlah artis muda. Dia mulai mempertimbangkan meninggalkan dunia musik, sebab “merasa sudah sampai garis finish.
Dalam keadaan depresi ini, Chrisye didekati Jay Subyakto dan Gauri Nasution, menawarkannya sebuah konser tunggal di Plenary Hall di Jakarta Convention Centre, (yang pada saat itu belum pernah mengadakan konser tunggal untuk artis Indonesia,red). Chrisye pun menolaknya.
Setelah Chrisye diperkenalkan dengan Erwin Gutawa, yang diangkat untuk mempersiapkan konser, akhirnya Jay dan Gauri berhasil membujuk Chrisye dengan mengatakan bahwa itu mungkin kesempatan terakhir untuk menyelamatkan kariernya. Konser Sendiri diadakan pada tanggal 19 Agustus 1994. Di kemudian hari, Chrisye mengenangnya bahwa konser itu, yang diberi julukan Sendiri menunjukkan bahwa konser “100% Indonesia” bisa berhasil diadakan, dan para penonton – baik anak-anak maupun dewasa – hafal lirik lagunya, baik yang lama maupun yang baru. Bagi Chrisye, hal tersebut membuat dia merasa sangat kecil.
Chrisye, Gutawa, dan sound engineer Dany Lisapali bersama Philip Hartl Chamber Orchestra pun menggarap AkustiChrisye (1996), Mereka lalu mulai bekerja sama untuk merekam Kala Cinta Menggoda, yang juga menggunakan orkes Australia. Akan tetapi, ternyata kesulitan merekam salah satu lagunya, “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”, yang diberi lirik yang berdasarkan ayat 65 Surah Ya Sin oleh penyair Taufiq Ismail; dimana setiap kali hendak menyanyikan lagu itu, Chrisye mendadak menangis.
Di tahun 1999, ditengah-tengah krisis sosial dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, Chrisye mulai mendaur ulang album Badai Pasti Berlalu, seolah sebagai jawaban serta doa seluruh masyarakat atas kondisi Indonesia yang segera akan berlalu. Chrisye pun lalu mengadakan satu lagi konser di Plenary Hall di Jakarta Convention Centre, yang bertajuk Konser Badai.
Lagi-lagi perkembangan demokrasi politik Indonesia yang terus berjalan, kembali memutuskan intensitas untuk mengikuti perjalanan Chrisye selanjutnya. Pergantian orde ke orde lainnya membawa pada suatu rutinitas politik yang luar biasa hingga pada 30 Maret 2007, mendengar kabar duka Chrisye meninggal pada pukul 4:08 WIB di rumahnya di Cipete, Jakarta Selatan, dan dikebumikan di TPU Jeruk Purut, Jakarta. Kini tak terasa 11 tahun meninggalkan kita semua dan bersamanya Chrisye terus mengikuti perjalanan republik ini lewat caranya yang unik.
(tjo; foto ist