SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Menapaki dunia seni rupa diusianya yang mulai memasuki senja, Bunawijaya yang tak mengenyam edukasi seni rupa secara institusi, maupun bergaul dalam komumitas seni rupa, justeru menjadikan Bunawijaya terus berproses atas cakrawala seni rupa yang diyakininya. Baginya melukis merupakan terapi, dan sekaligus memberikan ketenangan serta kenyaman bagi yang menikmati lukisannya.
Bunawijaya sang atlet nasional yang juga pengusaha ini, terus bermetamorfosa dalam setiap karya-karya lukisnya. Mulai dari sketsa, lalu hanya melukis realias alam, kemudian melukis fenomena alam, hingga melukis alam secara imajiner. Bunawijaya nampaknya terus membuka diri terhadap perkembangan seni rupa yang diyakini itu.
Bagi Jim Supangkat dalam kuratorialnya terungkap bahwa biasanya “para pendatang” seperti Bunawijaya tidak bertahan lama di dunia seni rupa, terpaksa menyingkir. Namun Bunawijaya bisa bertahan dan termasuk di antara sangat sedikit “pendatang” yang tidak terpental. Bunawijaya bahkan bisa mempertahankan pandangan-pandangannya dan tidak terpengaruh wacana-wacana dominan di dunia seni rupa, termasuk stigma Mooi Indië.
Itulah alasan mengapa pada Pameran Tunggal ke-Tujuh Bunawijaya, Jim menyematkannya dalam tema seksi “Menghadapi Stigma Mooi Indië”. Bahkan Bunaya sedikitpun tak merasa ewuh dan cenderung tak mempedulikan dengan ‘ Menghadapi Stigma Mooi Indie’ yang digadang-gadang itu.
Mooi Indië (Hindia Molek), konon berkembang sebagai sebuah gerakan demoralisasi pelukis yang tidak ingin membuat lukisan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda membawa pulang kenangan tentang keindahan Hindia Belanda. Dimana di zaman kemerdekaan, berkembang sebagai lukisan-lukisan pemandangan alam “pinggir jalan”.
Bunawijaya nyaris tak tahu menahu dengan persoalan ‘politisasi Mooi Indie’ tersebut karena bagi mantan pemburu ini, melukis pemandangan bak membagi kebahagiaan, ketenangan dan kenyamanan buat siapa saja yang menyaksikan lukisannya. Bahkan di pamerannya kali ini, Bunawijaya menggandeng artvideomaker muda, Eldwin Pradipta, yang menjadikan karya-karya lukisnya lebih hidup lagi.
Eldwin Pradipta mengangkat gambaran pada seri lukisan seascape Bunawijaya, Lingkaran Kaki Langit I –V (2016-2017) pada karya, New Seascape (2017), sebuah video projection yang dipancarkan ke lantai dalam bentuk lingkaran 3,5 m.
Dengan program CGI (computer generated imagery) Eldwin Pradipta menggerakkan awan, riak-riak laut, dan, ombak yang menerpa batu karang di pusat seascape ini. Rekaan realitas yang tidak ada pada kenyataan dikembangkan Eldwin Pradipta dengan VFX, program untuk mengolah special effect pada komputer yang sering digunakan pada pembuatan film film fiksi.
Dalam pameran tunggal yang berlangsung hingga 5 Januari 2018 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No. 14 Jakarta Pusat, pameran ini menjadi satu rangkaian yang tak terputus dari pameran sebelumnya di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (10 November – 10 Desember 2017), yang dibarengi dibarengi peluncuran buku “Buna, Suka Duka Sang Kelana” yang ditulis Jean Couteau.
Pameran ini menghadirkan 47 lukisan karya Bunawijaya, juga interaksi dengan Eldwin Pradipta dalam video projection berjudul “New Seascape”. Lukisan-lukisannya merepresentasi perkembangan kekaryaan Bunawijaya, juga kiprahnya di dunia seni rupa.
Bunawijaya adalah air tenang yang terus mengalir, kekuatan lukisannya merupakan kekuatan alam yang telah menyerap hingga pembuluh-pembuluh darahnya. Tak salah bila karya-karya lukis Bunawijaya yang dipamerkan bak cakrawala tanpa batas dari eksplorasi Mooi Indie.
Sebuah ungkapan tentang alam yang lahir dari ide dan imajinasi serta pengalaman merasakan keindahan yang bersentuhan dengan renungan dan pemikiran.
(tjo ; foto dok