SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tersebut ditarik dulu dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2020 dan setelah diperbaiki bisa dimasukkan paa Oktober 2020 mendatang.
Perubahan teknologi yang begitu pesat membuat materi RUU Penyiaran yang merevisi Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 itu dianggap tak lagi up to date sehingga harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian.
Penegasan tersebut disampaikan oleh Kharis dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/8/2020).
“Perbaikan dan penyempurnaan materi RUU Penyiaran harus dilakukan untuk memberi ruang digitalisasi penyiaran yang dinilai lebih menguntungkan dari berbagai aspek dibanding penggunaan siara televisi saat ini yang masih menggunakan frekwensi analog, ” ujar Kharis.
Politikus Fraksi PKS ini mengakui, perkembangan pesat teknologi digitalisasi berbasis internet menjadi hal yang tak terelakkan dan telah memberi pengaruh kuat dalam kehidupan berbangsa dan negara. Pengaruhnya sangat luas baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan negara.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan perlu singkronisasi dari penyiaran berbasis teknologi dari analog ke digitalisasi. Selain itu, itu materi RUU juga harus menekankan bahwa penggunaan frekwensi harus diperuntukkan bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat bukan segelintir pengusaha besar di lembaga penyiaran yang selama ini menguasai dinilai frekwensi penyiaran.
Materi lain yang juga perlu diperbaiki adalah regulator yaitu pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wasit yang akan menegur dan memberi sanksi apabila ada pelanggaran. “Karena banyak konten dan materi-materi yang berbahaya bagi anak-anak,” sebut Kharis.
Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kemkominfo Prof. Dr. Henri Subiarto mengakui materi RUU Penyiaran yang sudah usang karena tidak menyesuaikan dengan perkembangan siaran teknologi digital. “Migrasi atau peralihan dari TV analog ke penyiaran digital atau Analog Switch-Off (ASO) sudah dilakukan beberapa negara karena TV analog dianggap boros frekuensi, ” ujarnya.
Henri menjelaskan, TV yang ditonton di rumah merupakan frekwensi analog yang boros pita frekwensi, sedangkan penyiaran digital berbasis internet seperti hemat pita frekwensi. Sehingga TV rumahan di Indonesia menghabiskan frekuensi, yang dampaknya bukan hanya merugikan pendapatn negara. Apalagi, masyarakat cenderung lebih senang menyaksikan menyaksikan siaran televisi digital melalui telepon selularnya.
“Karenanya dengan migrasi teknologi digital menjadi keharusan. Dengan demikian, pemanfaatan spektrum frekuensi akan makin efisien, daya saing industri penyiaran akan meningkat, serta tingkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga akan makin optimal,” ujarnya.(EK)