OMNIBUS LAW atau Omnibus Bill, pertama kali diberlakukan di Amerika Serikat pada Tahun 1888. Kemudian diikuti penggunaan-nya oleh Negara-Negara: Irlandia, Kanada, Turki, Selandia Baru, Vietnam, dan Filipina, yang menganut sistem Common Law sedangkan Republik Indonesia menganut Civil Law.
Istilah Omnibus Law pertama kali muncul di Indonesia dalam Pidato pak Joko Widodo pada pelantikan dirinya menjadi Presiden ke 8 bulan Oktober 2019 lalu. Omnibus asal kata nya omnis bahasa latin yang artinya banyak.
Omnibus Law bersifat lintas sektoral yang sering ditafsirkan sebagai Undang-Undang sapujagat. Merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Ada 79 Undang-Undang dan 1299 pasal yang terdampak Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja ini. Ada tiga yang sangat mendasar yaitu Undang-Undang perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.
Niat dan tujuan dari pembentukan Omnibus law sangatlah bagus, karena ada tiga manfaat yang dapat diperoleh, yakni, menghilangkan tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan, salah satunya sektor ketenagakerjaan.
Sehingga, dapat mempermudah dan mempercepat iklim investasi di Indonesia. Efisiensi dalam proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Tetapi, eksekusi Omnibus Law terkesan terlalu terburu-buru, dan tidak sepenuhnya melibatkan ahli hukum dari berbagai perguruan tinggi (Universitas) di Indonesia. Hal ini bisa kita analisa dari berbagai bukti dibawah ini.
Pertama, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, skema pemberian uang penghargaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja justru mengalami penyusutan. Itulah yang menyebabkan gelombang besar penolakan dari semua serikat buruh yang ada di Indonesia dengan melakukan aksi Demo.
Sudah merupakan hukum besi bahwa keinginan buruh dengan pengusaha tidak pernah benar-benar cocok. Buruh ingin kerja sedikit terima upah banyak, sedangkan Pengusaha ingin bayar upah sedikit suruh kerja yang banyak.
Disinilah peran regulator dibutuhkan agar terjadi keseimbangan dalam melindungi kepentingan kedua belah pihak. Namun jangan sampai keinginan untuk segera mengesahkan Omnibus Law karena latah dan ada pesanan.
Kedua, menurut Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Prof, Dr, Candra Fajri Ananda., SE., M.Sc., Omnibus law berpotensi mengancam kearifan lokal yang berbeda-beda di setiap daerah. Aturan tersebut dianggap tidak memperhatikan perbedaan atau local wisdom di setiap daerah.
Ketiga, Dr. Fitriani Sjarif, S.H., MH., ahli hukum perundang-undangan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, jangan sampai pembentukan omnibus law Menabrak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan-Undangan. Bukankah ini jadi merusak sistem penyusunan peraturan perundang-undangan yang ada?”
Penulis Yus Dharman,SH.,M.Kn, ADVOKAT/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)