SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Sesungguhnya banyak hal yang menarik dalam film besutan sutradara Iwan Gunawan ini. Alur ceritanya sangat ringan. Hanya seputar problematika rumah tangga yang berimbas pada sekolah anaknya. Lalu anaknya alih alih menjadi penyelamat keluarga. Kemudian anaknya justeru di bully di sekolahnya. Lalu hadir dewa penolong. Anak sekolahan juga. Bisa punya uang Rp 200 juta. Luar biasa. Ada drama percintaan remaja milenial yang terlihat canggung. Dan endingnya sang dewa penolong tak menemukan cintanya dan juga kehilangan Rp 200 juta nya. Lagi lagi luar biasa.
Namun sayangnya, nyaris tak tereksplor akting dari dua genre aktor dan aktris dijamannya ini tergarap dengan baik di film yang diproduseri Ferry Anggriawan tersebut. Agus Melaz, Dian Nitami, atau Gunawan nyaris berakting biasa saja. Bahkan Kenny Austin, Mawar Eva de Jongh atau Maxime seakan tak menemukan lawan untuk mengeksplor akting yang mereka miliki.
Untung saja, ada Maxime Boutier yang gak cuma jual tampang tapi begitu menghayati peran yang diberikan padanya. Dan karakter Gibran entah kebetulan atau tidak malah justeru menghidupkan film besutan Virgo Films ini. Dan hadirnya Gubernur Jabar Ridwan Kamil pun cukup mencairkan alur cerita lewat dialog yang dibangunnya. Lagi lagi tak tereksplor dengan baik.
Stereotip pelajar remaja dengan jaket jins belelnya dengan motor tuanya, seolah ingin menggambarkan atau bernostalgia dengan remaja remaja pelajar di tahun 70an atau mengingatkan kita pada gaya remaja pelajar di film sebelah. Seolah ingin menggiring penonton akan sosok remaja pelajar di film sebelah untuk di film ini.
Harapannya tentu ada Serendipity yang selanjutnya untuk menghidupkan karakter Gibran yang dimainkan apik oleh Maxime Boutier. Gak cuma bikin Baper dan Menghibur. Tapi juga mengeksplor lebih akting akting mereka dalam peran peran yang dimainkan di Film Remaja Sekolah di era milenial itu.
(tjo; foto ist/nia